5. Rd. Anggadipa II / Kg. Adipati Wiradadaha VIII

Ur pennad tennet eus Rodovid BR, ar c'helc'hgeriadur digor.

Den:952769
Jump to: navigation, search
Lignez Wiradadaha
Reizh gourel
Anv a-bezh d'ar c'hanedigezh 5. Rd. Anggadipa II / Kg. Adipati Wiradadaha VIII
Kerent

R. Adipati Wiratanu Baja (Dalem Pasir Tando ) [Wiradadaha] a. a. 1807

Darvoudoù

1814 - 1837 titl: Manonjaya, Boepati Soekapoera Ke VIII

Notennoù

Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – VIII Tahun 1807-1811 dan 1814-1837

(Rd. Anggadipa / Kg. Adipati Wiradadaha VIII)

Perpindahan Ibukota Kabupaten Sukapura ke Manonjaya (1834).

Setelah Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat pada tahun itu juga diganti oleh putranya yang ke 5, bernama R. Demang Anggadipa atau Kg. Dalem Wiradadaha VIII, Karena prestasinya, ditahun 1815 oleh Resident Walken Berg, Kg. Bupati dianugerahkan gelar Adipati. Tugas Kg. Bupati tiada lain adalah memajukan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan mengolah tanah agar negara tidak kekurangan pangan. Namun pada masa itu, sesuai dengan permintaan pemerintah (Belanda) sawah-sawah harus ditanami Tarum (pohon Nila).

Kemauan beliau yang begitu keras, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Kg. Bupati, karena khawatir rakyatnya akan kekurangan pangan.

Radén Demang Anggadipa alias Radén Tumenggung Wiradadaha VIII (1807-1811) dipecat dari jabatannya, karena ia tidak melaksanakan perintah penanaman nila di sawah sebagai pengganti kopi. Bupati Sukapura menolak perintah tersebut, karena jika sawah ditanami nila, para petani akan kehilangan penghasilan padi dan palawija. Akibat sikap Bupati Sukapura tersebut, Kabupaten Sukapura kemudian dihapuskan. Daerahnya digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Limbangan yang diperintah oleh Bupati Radén Tumenggung Wangsareja (1805-1813).

Sebagian daerah Limbangan, termasuk daerah bekas Kabupaten Sukapura, dibagi-bagi kemudian digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang (Besluit tanggal 2 Maret 1811). Penggabungan daerah itu dimaksudkan untuk kepentingan produksi kopi khususnya dan eksploitasi ekonomi pada umumnya.

Meskipun begitu Kg. Bupati tidak kecewa dan penasaran, karena beliau merasa sudah puas berkorban untuk kepentingan negara serta rakyatnya. Setelah berhentinya Kg. Wiradadaha VIII, Kabupaten Sukapura diganti pimpinan oleh Kg. Dalem Surjadilaga yang termasyur dengan sebutan “Dalem Taloen”, keturunan leluhur Sumedang. Latar belakang pemerintah Belanda mengangkat Kg. Dalem Taloen, tiada lain adalah karna jasa-jasanya terhadap pemerintah Belanda, maka tidak diragukan lagi bahwa permintaan menanam tarum (pohon nila) di tanah Sukapura pasti akan terlaksana. Setelah dua tahun lamanya Kg. Dalem Taloen bertahta di kabupaten Sukapura, beliau memohon untuk dipulangkan ke Sumedang, karena tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda terus berusaha untuk melaksanakan tujuannya, akhirnya Sukapura diserahkan ke Kg. Bupati Limbangan (Garut), dengan permintaan agar kebun Tarum tetap dilaksanakan. Inipun tidak tercapai, karena beliau tidak sanggup memenuhi apa yang diinginkan oleh pemerintah Belanda. Pada akhirnya terpikir oleh pemerintah Belanda, bahwa permintaannya tidak akan terlaksana, karena tidak sesuai dengan kemauan rakyat.

Singkat cerita, pemerintah Kabupaten Sukapura dibawah Kg. Dalem Limbangan (Garut), bermusyawarah dengan Kg. Dalem Sukapura (Wiradadaha III) yang telah diberhentikan, memohon agar Sukapura sebelah barat ditanami tarum (pohon nila) dan dibangun pabrik-pabriknya dengan perjanjian (persyaratan), bahwa bilamana pekerjaan telah berhasil, tanah Sukapura akan dikembalikan lagi.

Tanpa menunggu lagi, rakyat Sukapura dengan keikhlasannya bersama memenuhi permintaan pimpinannya (Wiradadaha VIII), dalam waktu singkat kebun tarum (pohon nila) berikut pabrik-pabrik selesai ditanami dan dibangun tanpa kekurangan suatu apapun.

Sesuai dengan janji, pemerintahan yang pada masa itu dipegang oleh P.K.T. Johanes Graff van den Bosch (1830-1833), Kg. Dalem Wiradadaha VIII diangkat kembali sebagai Bupati dan tanah-tanah yang pernah diserahkan ke Limbangan (Garut) dikembalikan lagi kecuali, Suci dan Panembong. Baru saja Kg. Bupati mengatasi suatu masalah, timbul masih lain yang menggangu ketenangan hatinya.

Adik Kg. Bupati bernama R. Wiratanoewangsa yang menjadi Patih di kabupaten Cipejeuh, diberhentikan dari jabatannya karena berbeda pendapat dengan Dalem Cipejeuh.

Merasa sudah pupus harapannya, R. Wiratanoewangsa secepatnya kembali ke Sukapura, memasrahkan dirinya kepada kakaknya. Sementara pemerintah Belanda bermaksud membangun gudang garam di Banjar, Kalipucang dan Pangandaran. Meskipun pembangunan telah dicoba untuk dilaksanakan, namun tidak terlaksana, karena selain terserang wabah penyakit, pada zaman itu daerah tersebut masih angker.

Yang berkuasa atas daerah tersebut yaitu Pangeran Kornel (Bupati Sumedang), karena merasa bimbang dengan belum terlaksana permintaan pemerintah Belanda, secepatnya memanggil putranya bernama Kg. Tumenggung Koesoemahjoeda agar pembangunan gudang-gudang tersebut dapat terlaksana.

Singkatnya Kg. Dalem Koesoemahjoeda menerima permintaan ayahnya, lalu ingat pada R. Wiratanoewangsa dan merasa bahwa pemberhentiannya itu oleh kakaknya, yaitu Dalem Cipejeuh tidaklah terlalu berat kesalahannya. Dengan maksud meringankan beban dan menebus dosa kakaknya yang telah menghukum orang yang tidak berdosa, setelah memohon izin dan restu kepada ayahnya, yaitu Kg. Pangeran Kornel, lalu Kg. Dalem Koesoemahjoeda mengunjungi P.K.T. Besar (Belanda), menyampaikan agar permintaan pembangunan gudang garam di 3 tempat itu diserahkan kepada Patih Cipejeuh yang telah diberhentikan, dengan persyaratan, bila pembangunan gudang-gudang tersebut selesai dalam waktu 6 bulan, R. Wiratanoewangsa akan diberikan tanah dari Galuh sampai Sumedang sebanyak 6 distrik, yaitu :

1. Pasir Panjang,
2. Banjar,
3. Kawasen,
4. Kali Peucang
5. Cikembulan
6. Parigi

Setelah Kg. Dalem Koesoemahjoeda diizinkan oleh Sri P.K.T. Besar, ia segera menyampaikan kepada R. Wiratanoewangsa melalui perantaraan Kg. Pangeran Kornel, agar permintaan pemerintah Belanda tersebut dilaksanakan oleh Kg. R. Wiratanoewangsa.

Setelah diterimanya perintah tersebut, R. Wiratanoewangsa segera berangkat ke wilayah yang akan dibangun gudang-gudang tersebut. Sesuai persetujuan Kg. Pangeran Kornel, dalam waktu yang telah ditetapkan, gudang di 3 tempat itu selesai tanpa kekurangan suatu apapun. Tidak lama kemudian, R. Wiratanoewangsa diangkat kembali menjadi Patih dan diberi gelar Tumenggung, menguasai 6 distrik tersebut dan namanya-pun diganti menjadi R. Tumenggung Danoeningrat.

Adapun tempat tinggalnya, membangun wilayah baru dikampung Tembong Gunung (Kali Manggis), yang telah selesai diberi nama Nagara Harjawinangun pada tahun 1832. Pada masa itu, R. Tumenggung Danoeningrat memohon kepada pemerintah Belanda agar mengizinkan kakaknya (Wiradadaha VIII) untuk kembali memimpin negara, serta tanah miliknya diserahkan kepada kakaknya dan dia dijadikan Patihnya.

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dan Patih Danuningrat, wilayah Kabupaten Sukapura meliputi 21 distrik yang disebut daerah Galunggung. Karena wilayah kekuasaannya terlalu luas, maka tahun 1831 daerah Sukapura atau Galunggung ini dibagi menjadi tiga bagian (Afdeeling/bagian dari Keresidenan) yaitu: Afdeeling Sukapura Kolot, Afdeeling Sukapura, dan Afdeeling Tasikmalaya.

Sukapura dalam pembagian tersebut termasuk dalam Afdeeling Sukapura, di mana batas Afdeeling Sukapura ialah sebelah Utara dengan Keresidenan Cirebon, sebelah Timur dengan Keresidenan Banyumas yang dipisahkan sungai Citanduy, sebelah Selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah Barat dengan Afdeeling Sukapura Kolot dan Afdeeling Tasikmalaya. Pada tahun 1831 Afdeeling Sukapura mempunyai wilayah seluas 260.312,13 Ha dengan jumlah penduduk ibukota 4687 Pribumi, 22 Cina, dan 6 Timur Asing. Setelah pembagian wilayah tersebut, tahun 1832 Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII memindahkan ibukota Kabupaten Sukapura – sesuai daerah yang langsung diperintahnya yaitu dari Leuwiloa di Sukaraja ke Harjawinangun/Manonjaya.

Namun untuk sementara, pemerintahan berkedudukan di Pasir Panjang karena menunggu penyelesaian pembangunan ibukota. Pemerintahan baru berjalan 2 tahun kemudian, setelah Patih Raden Tumenggung Danuningrat selesai membangun kota Harjawinangun (sekarang Manonjaya). Maka baru pada tahun 1834 secara resmi Ibukota Sukapura Pindah ke Harjawinangun/Manonjaya.

Beberapa alasan pemindahan ibukota kabupaten ini di antaranya agar memudahkan dalam menjalankan roda pemerintahan karena berdasarkan pembagian wilayah tersebut, daerah-daerah yang berada di bawah pengawasan Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII akan berlokasi di sebelah Timur Kota Sukaraja, yang menyebabkan hubungan transportasi antar daerah menjadi sulit dalam menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan alasan politis terkait dengan Perang Diponegoro (1825-1830) yang terjadi di wilayah Jawa Tengah yang mengakibatkan Belanda memperkuat benteng pertahanan di wilayah perbatasan agar tidak menyebar ke Jawa Barat.

Berdasarkan catatan sejarah, Harjawinangun selama 70 tahun pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura (Dirapraja, 1972). Harjawinangun sebagai pusat pemerintahan telah berkembang dengan pesat, dan menjadi kota transit dalam jalur hubungan darat antara Jawa Tengah dari arah timur ke Jawa Barat. Sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota Harjawinangun, maka tahun 1839 berdasarkan Besluit Gubernemen No. 22 tanggal 10 Januari 1839 nama Kota Harjawinangun dirubah menjadi Kota Manonjaya. Dengan bertambah luasnya kekuasaan yang dipegang Kg. Dalem Wiradadaha VIII, kabupaten Sukapura dari wilayah Desa Sukapura Kecamatan Sukaraja dipindahkan ke wilayah Harjawinangun.

Sebelum pembangunan pusat kota selesai, Rd. Anggadipa (Kg. Adipati Wiradadaha VIII) pada tahun 1837 wafat, setelah meninggal disebut Dalem Sepuh. Beliau menjadi bupati selama 30 tahun .Jenazahnya dimakamkan di suatu gunung disebelah selatan kota Manonjaya yang disebut Tanjung Malaya, meninggalkan putra-putri sebanyak 14 orang yaitu :

1. Rd. Ajoe Djajanggadiredja
2. Rd. Mandoeraredja
3. Nyi Rd. Mantri Gandawiredja
4. Rd. Rg. Djajamanggala
5. Rd. Tanoekoesoemah
6. Rd. Wangsadiredja
7. Rd. Soeranegara
8. Rd. Anggadipa
9. Nyi Rd. Siti Djenab/Zaenab
10 Nyi Rd. Armisah
11. Nyi Rd. Limdasari
12. Nyi Rd. Poerwa Apipah
13. Nyi Rd. Siti Mamtri
14 Nyi Rd. Koesoemah


Eus an dud-kozh d'ar vugale-vihan

Tud-kozh
Rd. Djajanggadiredja/Kg. Tumenggung Wiradadaha VI
titl: 1747 - 1765, Boepati Soekapoera ke VI
Tud-kozh
Kerent
R. Adipati Wiratanu Baja (Dalem Pasir Tando )
titl: 1765 - 1807, Bupati Soekapoera, ke VII / Wiradadaha VII
marvidigezh: 1807, Pasirtando
Kerent
 
== 3 ==
34. R. Braja Diguna / R. Muhammad (Sembah Dalem Cidamar Tahun 1761–1836)
ganedigezh: 1761, Soekapoera
titl: 1811 - 1821, Wedana, Cidamar
marvidigezh: 1836, Panyindangan, Cidamar
12. R. Tumenggung Danoeningrat / Kg. Adipati Wiradadaha IX
ganedigezh: 1837 - 1844, Manonjaya, Boepati Soekapoera Ke IX
5. Rd. Anggadipa II / Kg. Adipati Wiradadaha VIII
titl: 1814 - 1837, Manonjaya, Boepati Soekapoera Ke VIII
== 3 ==

Ostilhoù personel
Enklask araokaet
Yezhoù all