Kanjeng Raden Mas Tumenggung Adipati Tjokronegoro I / Raden Mas Lantjoer / Raden Mas Koesen a. a. 28 Gouere 1902 - Taolenn an diskennidi
Ur pennad tennet eus Rodovid BR, ar c'helc'hgeriadur digor.
ganedigezh: 1811, Tegalsari - Ponorogo
titl: - Kanjeng Raden Mas Tumenggung Adipati = gelar saat memangku jabatan sebagai Bupati Ponorogo - Raden Mas Adipati Arya = gelar saat memangku jabatan sebagai Bupati Surabaya
eured: <1> ♀ Raden Ayu Adipati Tjokronegoro I - (Garwo ke 1) [Kanjeng Djogokarjyo - I, Tumenggung Jimat]
eured: <1!> ♀ Raden Ayu Adipati Tjokronegoro I - (Garwo ke 1) [Kanjeng Djogokarjyo - I, Tumenggung Jimat] , <2> ♀ Mas Ayu Ismojowati - (Garwo ke 2) [Tdk ada Data] , <3> ♀ Mas Ayu ...(tidak ada Data ) - (garwo ke 3) [Tdk ada Data] , <4> ♀ Raden Ayu Soemodiwati - (Garwo ke 4) [Tdk ada Data] , <5> ♀ Raden Ayu Asmorowati - (garwo ke 5) [Tdk ada Data]
marvidigezh: 28 Gouere 1902, Surabaya, Wafat pada hari Senin kliwon 28 Juli 1902 (Bakdomulud 1832 Jawa, 24 Rabiulakhir 1320 H) jam: 06.30 pagi, dalam usia 75 tahun, dimakamkan di pesarean Boto Putih – Surabaya.
2
61/2 <1+1> ♀ Raden Ayu Djamsikin / Raden Ayu Soerodirdjo [Kyai Muhammad Besari Tegalsari - Ponorogo]ganedigezh: Level 4 = Canggah dari Kyai Muhammad Besari Tegalsari - Ponorogo;
marvidigezh: Maospati, tahun: 19
ganedigezh: 1835, Ponorogo, Putera ke 2 dari 10 bersaudara
micher: Madiun, Wedana Bagi - Madiun
marvidigezh: Madiun, tahun: 19
ganedigezh: 1838
marvidigezh: tahun: 19
ganedigezh: 1842, Putera ke 4 dari 10 bersaudara suami Penghulu di Pacitan
marvidigezh: tahun: 19
ganedigezh: 1842, Ponorogo, Putera ke 5 dari 10 bersaudara
marvidigezh: tahun: 19
ganedigezh: 1846, Ponorogo, Putera ke 7 dari 10 bersaudara
titl: Ponorogo, Kanjeng Bupati Ponorogo
marvidigezh: 1913
ganedigezh: 1848, Ponorogo, Putera ke 8 dari 10 bersaudara
micher: Ponorogo, Mantri Kuto Ponorogo
marvidigezh: tahun: 19
ganedigezh: 1851, Ponorogo, Putera ke 9 dari 10 bersaudara Suami Wedana Ponorogo
marvidigezh: Ponorogo, tahun: 19
ganedigezh: 1855, Ponorogo, Putera ke 10 dari 10 bersaudara
micher: Asisten Wedana Babadan - Ponorogo
marvidigezh: Ponorogo, tahun: 19
ganedigezh: 1859, Ponorogo, Putera tunggal urutan ke 11 dari putera puteri Garwo I, II
micher: asisten Wedono Gemarang, kemudian Wedono Kleco - Madiun
marvidigezh: tahun: 19
ganedigezh: 1860, Ponorogo, Putera ke 1 dari 5 bersaudara suami Jaksa di Madiun
marvidigezh: Madiun, tahun: 19
ganedigezh: 1863, Ponorogo, Putera ke 2 dari 5 berdsaudara
marvidigezh: 1863, Ponorogo, Wafat usia balita ( umur 15 hari )
ganedigezh: 1864, Ponorogo, Putera ke 3 dari 5 bersaudara Suami Colleceteur di Magetan
marvidigezh: Magetan, tahun: 19
ganedigezh: 1867, Ponorogo, Putera ke 4 dari 5 bersaudara
douaridigezh: Tegalsari - Ponorogo, tahun : 19
ganedigezh: 1869, Ponorogo, Putera ke 5 dari 5 bersaudara
marvidigezh: 1872, Wafat dalam usia muda ( Umur 3 tahun )
ganedigezh: 1872, Ponorogo, Putera ke 11 dari 11 bersaudara
ganedigezh: 1873, Putera ke 1 dari 4 bersaudara suami Wedono Keniten, kemudian Patih Pacitan
marvidigezh: tahun: 19
ganedigezh: 1874, Ponorogo, Putera ke 2 dari 4 bersaudara
ganedigezh: 1877, Ponorogo, Putera ke 3 dari 4 bersaudara Suami Guru di Mojoroto
ganedigezh: 1880, Ponorogo, Putera ke 4 dari 4 bersaudara >> suami Wedana Kanigoro
3
221/3 <11> ♂ Raden Mas Oemar Djaman Tjokroprawiro [Kyai Muhammad Besari Tegalsari - Ponorogo]micher: isteri Bupati Purwokerto saat itu
micher: Bupati yang diperbantukan Residen Bojonegoro
micher: - Pensiunan Wedana - Anggota PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dan Masyumi yang kemudian meninggal di Madiun di zaman yang terkenal dengan istilah ’Madiun Affair’
micher: isteri pegawai tinggi
micher: arsitek terkenal yang juga politikus ulung yang pernah menjadi ketua PSII dan sempat menjabat sebagai menteri di Kabinet Republik Indonesia;
micher: Pegawai Kementrian Kehutanan
micher: Jakarta, Pegawai kementerian Perhubungan RI
ganedigezh: 16 Eost 1882, Bakur, Madiun, Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto, dilahirkan di Bakur, sebuah desa yang sunyi di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 16 Agustus 1882 bertepatan dengan tahun meletusnya gunung Krakatau di Banten. Peristiwa ini sering dikiaskan oleh orang Jawa bahwa gunung meletus itu akan banyak menimbulkan perubahan terhadap alam di sekelilingnya. Peristiwa ini pula yang kelak dikaitkan dengan meledaknya tuntutan H.O.S Tjokroaminoto terhadap pemerintah kolonial Belanda ketika ia menjadi pemimpin Sarekat Islam.
eured: <6> ♀ Raden Ayu Soeharsikin [Senopati]
marvidigezh: 17 Kerzu 1934
Sebagai seorang anak priyayi, Tjokroaminoto tentu saja dijodohkan oleh orangtuanya dengan anak priyayi pula yaitu Raden Ajeng Soeharsikin, puteri seorang patih wakil bupati Ponorogo yang bernama Raden Mas Mangoensomo. Raden Ajeng Soeharsikin, yang setelah menikah menjadi Raden Ayu Tjokroaminoto, dikenal sebagai seorang wanita yang sangat halus budi pekertinya, baik perangainya, besar sifat pengampunannya dan cekatan. Walaupun tidak tinggi pendidikan sekolahnya, namun ia sangat menyukai pengajaran dan pengajian agama. Menurut asal-usulnya, ia keturunan Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir di Madiun. Keteguhan dan kecintaan Soeharsikin kepada suaminya dibuktikan sejak awal masa pernikahan yang ketika itu dirinya dipaksa untuk memilih antara berpisah dengan orang tuanya atau dengan Tjokroaminoto. Hal ini terjadi ketika Tjokroaminoto berselisih dengan mertuanya. Perselisihan ini bermula dari perbedaan pandangan di antara keduanya. Tjokroaminoto tidak berhasrat menjadi seorang birokrat sedangkan mertuanya menginginkan tjokroaminoto menjadi birokrat sebab mertuanya masih bersifat kolot dan cenderung elitis. Pada waktu itu, Tjokroaminoto sudah masuk dunia BB, dunia kaum priyayi. Selama tiga tahun ia menjadi juru tulis patih di Ngawi. Perbedaan antara mertua dan menantu ini semakin hari semakin tajam. Sadar akan kenyataan yang dihadapinya, Tjokroaminoto pun mengambil tindakan nekat. Dia meninggalkan rumah kediaman mertuanya tersebut walaupun istrinya sedang mengandung anak pertamanya. Tindakan nekat Tjokroaminoto ini menimbulkan kemarahan bahkan kebencian mertuanya. Mangoensoemo memaksa anaknya untuk bercerai dengan Tjokroaminoto sebab kepergiannya telah mencoreng martabat dan kehormatan keluarganya. Dihadapkan dengan situasi sulit ini, Soeharsikin secara tegas tetap memilih suaminya, Tjokroaminoto. Jawaban Soeharsikin itu membuat kedua orang tuanya tertegun dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika Soeharsikin telah melahirkan anak sulungnya, ia bersama anaknya meninggalkan rumah untuk menyusul Tjokroaminoto. Namun, ia berhasil ditemukan oleh pesuruh ayahnya yang menyusulnya. Dalam pengembaraannya, Tjokroaminoto sampai di kota Semarang. Waktu itu, tahun 1905, beliau sudah meninggalkan pekerjaannya sebagai sebagai juru tulis patih di Ngawi. Untuk menyambung hidupnya, ia tidak segan-segan menjadi kuli pelabuhan disana. Malah, pengalaman yang tak terlupakan ini mendorongnya untuk memperhatikan kehidupan kaum buruh baik di perkebunan, kereta api, pengadilan, pelabuhan dan sebagainya ketika ia nantinya berkecimpung didunia pergerakan. Dia-lah yang mempelopori berdirinya ’sarekat sekerja’ yang bertujuan mengangkat harkat kaum buruh.5 Merasa sulit berkembang di kota Semarang, ia kemudian memutuskan pindah ke Surabaya. Di kota Surabaya ini ia bekerja pada sebuah firma yang bernama Kooy & Co. Disamping bekerja beliau juga tidak lupa meluangkan waktu untuk menambah ilmu pengetahuan. Pada tahun 1907-1910, dia mengikuti pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School). Setelah menamatkan sekolahnya di B.A.S, agaknya Tjokroaminoto sudah tidak tertarik lagi untuk meneruskan pekerjaannya di perusahaan dagang tersebut. Kemudian ia berhenti dan bekerja sebagai leerling machinist selama satu tahun lamanya yaitu dari tahun 1911 sampai 1912. Kemudian ia pindah bekerja lagi ke sebuah pabrik gula, Rogojampi Surabaya di dekat kota Surabaya sebagai seorang chemiker.
Diantara banyak pekerjaan yang dilakoninya, pekerjaan sebagai jurnalistik lah yang paling disukainya. Beliau mengembangkan bakatnya dalam bidang itu dengan memasukkan tulisan-tulisannya dalam berbagai surat kabar pada masa itu serta pernah menjadi pembantu pada sebuah surat kabar di kota Surabaya, yaitu Suara Surabaya. Bakatnya ini semakin tampak jelas semasa ia menjadi pemimpin Sarekat Islam dan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dimana ia mampu menerbitkan beberapa surat kabar harian dan mingguan serta majalah, yaitu surat kabar Oetoesan Hindia, surat kabar Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad. Pada semua penerbitan itu ia selalu menjadi pemimpin redaksi. Ia memang menyadari fungsi surat kabar dan majalah sebagai salah satu alat perjuangan.6
Akhirnya, setelah cukup lama merantau, Tjokroaminoto memutuskan menetap di Surabaya dan membawa serta istri dan anak-anaknya yaitu Siti Oetari, Oetarjo alias Anwar, Harsono alias Moestafa Kamil, Siti Islamijah, dan Soejoet Ahmad. Walaupun dalam suasana sederhana, keluarga ini sangat harmonis dan berbahagia. Soeharsikin memberikan dukungan moral yang sangat besar kepada suaminya. Jika Tjokroaminoto bepergian, istri yang sederhana dan setia ini mengiringi kepergian suaminya dengan sembahyang tahajud, puasa dan berdoa untuk suaminya. Banyak orang mengakui bahwa ketinggian derajat yang diperoleh Tjokroaminto sebagian besar berkat bantuan istrinya. Untuk membantu ekonomi keluarga, Soeharsikin membuka rumahnya untuk indekos para pelajar di Surabaya. Pelajar yang mondok di rumah Tjokroaminoto sekitar 20 orang. Kebanyakan dari mereka bersekolah di M.U.L.O (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), atau H.B.S (Hollands Binnenlands School). Di antara siswa yang mondok tersebut adalah Soekarno (kelak menjadi tokoh Nasionalis – Presiden pertama RI), S.M. Kartosoewiryo (kelak menjadi tokoh Islamis – Pemimpin DI / TII), Moesso (kelak menjadi tokoh Komunis / PKI), Sampoerno, Abikoesno dan Alimin. Mereka tidak hanya makan dan tidur di rumah Tjokroaminoto, tetapi juga berdiskusi baik dengan sesama teman maupun dengan Tjokroaminoto. Sehingga rumah Tjokroaminoto adalah ibarat kancah yang terus menerus menggembleng dan membangun ideologi kerakyatan, demokrasi, sosialisme, dan anti imperialisme. Dalam mendidik anak-anaknya maupun mengatur para pelajar yang indekos, Soeharsikin dan Tjokroaminoto sangat disiplin meskipun tetap akrab. Anak-anaknya diberi pendidikan dengan sebaik-baiknya. Tidak hanya pendidikan duniawi tetapi juga pendidikan agama sangat diperhatikannya seperti mendatangkan guru untuk mengajar membaca Al-Qur’an ke rumahnya. Sedangkan disiplin yang diterapkan pada pelajar adalah seperti yang digambarkan Soekarno : ”Bu Tjokro sendiri yang mengumpulkan uang makan kami setiap minggu. Dia membuat peraturan seperti makan malam jam sembilan dan yang terlambat tidak akan dapat makan, anak sekolah sudah harus ada di kamarnya jam 10 malam, anak sekolah harus bangun jam 4 pagi untuk belajar, dan main-main dengan anak gadis dilarang..” 7 Pada usia 35 tahun, Tjokroaminoto mencapai puncak karirnya sebagai pemimpin Sarekat Islam selama beberapa periode. Tetapi semua gerak langkahnya tidak akan berhasil, jika tidak mendapat dukungan dari istri tercintanya. Dengan ketaatan seorang istri pejuang yang juga ikut membanting tulang mencari nafkah dengan tiada rasa jerih payah. Hidup sang istri yang didorong oleh hati ikhlas dan jujur itu, akhirnya merupakan faktor yang terpenting pula, sehingga Tjokroaminoto menjadi manusia besar di Indonesia yang amat disegani oleh kawan maupun lawannya. Tetapi tidaklah lama Raden Ayu Soeharsikin dapat menyumbangkan darma baktinya kepada cita-cita suaminya, pada tahun 1921, beliau akhirya berpulang ke Rahmatullah meninggalkan suami dan kelima anaknya. Kematian beliau disebabkan sakit tipus dan sakit perut. Hal ini bermula dari anak bungsu beliau, Soejoet Tjokroaminoto, terkena tipus. Soeharsikin yang menjaga anaknya selama berbulan-bulan malah tertular penyakit anaknya tersebut dan akhirnya meninggal dunia. Almarhumah Soeharsikin kemudian dimakamkan di Botoputih, Surabaya.8 Keluarga Tjokroaminoto amat terpukul dengan kepergian beliau. Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam. Terutama bagi Tjokroaminoto peristiwa ini merupakan pukulan yang amat berat. Ia tidak hanya kehilangan sosok seorang istri, tetapi juga kehilangan rekan seperjuangannya yang paling mengerti dirinya. Ketika semua orang berpaling dari dirinya, Soeharsikinlah satu-satunya orang yang masih setia.
Demikianlah kedukaan itu berlangsung beberapa lamanya. Namun betapapun kedukaan itu melanda dirinya, Tjokroaminoto tetap pada prinsip yang dipegangnya, berjuang untuk pembebasan bangsanya dari belenggu penjajahan. Untuk itu ia tidak pernah berhenti sampai pada akhir hayatnya.4
341/4 <23+6> ♂ Oetarjo Anwar Tjokroaminoto [Kyai Muhammad Besari Tegalsari - Ponorogo]ganedigezh: 1871
ganedigezh: 1872
ganedigezh: 1873
ganedigezh: 1874
ganedigezh: 1905
eured: <7> ♂ Sigit Bachroensalam [Bachroensalam]
eured: <8> ♂ Soekarno / Koesno Sosrodihardjo [Hamengku Buwono II] g. 6 Mezheven 1901 a. a. 21 Mezheven 1970, Surabaya
marvidigezh: 1981
5
391/5 <38+7> ♂ Harjono Sigit Bachroensalam [Bachroensalam]6
441/6 <39+9> ♀ w Maia Estianty [Bachroensalam]eured: <10> ♂ w Dhani Ahmad Prasetyo [Sastraatmadja] g. 26 Mae 1972
eured: <11> ♂ Irwan D. Mussry [Mussry] g. 15 Du 1962