Bhre Daha II ? (Wangsa Rajasa) a. a. 1426 - Taolenn an diskennidi

Ur pennad tennet eus Rodovid BR, ar c'helc'hgeriadur digor.

Den:329428
Jump to: navigation, search
Ezhomm en deus hor servijer eus kalz loazioù evit diskwel gwezennoù bras. Setu perak ne c'hall gwelout an arvererien dizanv nemet 7 remziad diagentidi ha 7 remziad diskennidi en ur wezenn. Ma vennit gwelout ul lignez a-bezh hep enskrivadur, ouzhpennit an testenn ?showfulltree=yes e dibenn chomlec'h URL ar bajenn-mañ. Mar plij, ne lakait e neblec'h all ebet ul liamm eeun ouzh ur wezenn a-bezh.
11/1 Bhre Daha II ? (Wangsa Rajasa) [?]
titl: Selir.
eured: <1> Wikramawardhana / Raden Gagaksali [Majapahit Rajasa]
marvidigezh: 1426

2

31/2 <1+1> Dewi Suhita / Bhre Daha II (Dyah Ayu Kencana Wungu) [Majapahit Rajasa]
eured: <2> Hyang Prameswara / Bhre Kahuripan (Aji Ratnapangkaja) [Wijayarajasa]
titl: 1429 - 1447, Rani Majapahit V bergelar Prabu Stri Suhita
marvidigezh: 1447
Prabu Stri Suhita adalah raja wanita Majapahit yang memerintah tahun 1427-1447, bersama suaminya yang bernama Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja.

Silsilah Bhatara Hyang Parameswara Menurut Pararaton, nama asli Parameswara adalah Aji Ratnapangkaja. Ibunya bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan, adik Wikramawardhana. Ayahnya bernama Raden Sumirat yang menjadi Bhre Pandansalas, bergelar Ranamanggala.

Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Surawardhani masih menjabat Bhre Pawanuhan dan belum menikah. Gelar Bhre Kahuripan saat itu masih dijabat neneknya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Menurut Pararaton, sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi dan Surawardhani, jabatan Bhre Kahuripan kemudian diwarisi Ratnapangkaja.

Ratnapangkaja memiliki tiga saudara perempuan, yaitu Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ketiganya masing-masing secara unik dinikahi oleh ayah, anak, dan cucu, yaitu Wikramawardhana, Bhre Tumapel, dan Bhre Wengker.

Bhre Wengker dari istri lain, memiliki putri Bhre Jagaraga dan Bhre Pajang, yang keduanya dinikahi Ratnapangkaja. Silsilah ini semakin rumit ketika Ratnapangkaja menikahi Suhita, putri Wikramawardhana.

[sunting] Hubungan Suhita dengan Bhre Daha Pararaton tidak menyebut secara jelas nama ibu Suhita. Silsilah Suhita muncul sebelum pemberitaan Perang Paregreg. Hal ini menimbulkan kesan, seolah-olah Suhita sudah lahir dan menikah dengan Ratnapangkaja sebelum perang terjadi.

Menurut Pararaton, Ratnapangkaja bingung harus berpihak pada siapa ketika perang meletus. Apabila ia sudah menikahi Suhita tentu ia akan langsung memihak Wikramawardhana, mengingat Pararaton tidak secara tegas menyebutkan kalau ibu Suhita adalah putri Bhre Wirabhumi.

Penulis Pararaton memang sering mengabaikan urutan peristiwa secara kronologis. Misalnya, pemberontakan Ranggalawe disebut terjadi tahun 1295, tapi baru diberitakan setelah Jayanagara naik takhta (1309).

Seputar pemberitaan Bhre Wirabhumi dijumpai adanya tiga tokoh yang menjabat Bhre Daha. Yang pertama adalah ibu angkat Bhre Wirabhumi yang wafat sebelum perang meletus. Bhre Daha yang kedua adalah yang diboyong Wikramawardhana setelah perang Paregreg dan meninggal sebelum peristiwa bencana kelaparan terjadi tahun 1426. Sedangkan Bhre Daha yang ketiga naik takhta menggantikan Wikramawardhana dan menghukum mati Raden Gajah (pembunuh Bhre Wirabhumi).

Bhre Daha yang pertama dipastikan adalah Rajadewi putri bungsu Raden Wijaya. Menurut Nagarakretagama, Bhre Wirabhumi dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi.

Dari perkawinan tersebut lahir seorang putri yang menjabat Bhre Daha sepeninggal Rajadewi. Bhre Daha yang kedua inilah yang diboyong Wikramawardhana sebagai selir setelah kekalahan Bhre Wirabhumi tahun 1406.

Dari perkawinan tersebut, lahir Suhita sebagai Bhre Daha menggantikan ibunya yang wafat menjelang bencana kelaparan 1426. Sepeninggal Wikramawardhana, Bhre Daha alias Suhita naik takhta tahun 1427. Usianya saat itu dapat diperkirakan sekitar 20 tahun.

[sunting] Pemerintahan Suhita Suhita memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja bergelar Bhatara Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre Wirabhumi dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati. Dari berita ini terasa masuk akal kalau hubungan Bhre Wirabhumi dan Suhita adalah kakek dan cucu, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton.

Nama Suhita juga muncul dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta, yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan Arya Teja, kakek Sunan Kalijaga.

Pada tahun 1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula. Pasangan suami istri itu dicandikan bersama di Singhajaya.

Karena tidak memiliki putra mahkota, Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.
22/2 <1+1> Kertawijaya / Brawijaya I (Bhre Tumapel III) [Majapahit Rajasa]
eured: <3> Jayawardhani Dyah Jayeswari / Bhre Daha Kapanca [Bhre Daha V]
titl: 1447 - 1451, Prabu Majapahit VII bergelar Sri Maharaja Wijaya Parakrama Wardhana (Brawijaya I)
marvidigezh: 1451
Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana.

Kertawijaya dalam Pararaton Menurut Pararaton, Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana dari selir. Putra Wikramawardhana yang lain adalah Hyang Wekasing Sukha, Bhre Tumapel, dan Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjadi Bhre Tumapel, yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.

Kertawijaya naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel.

Kertawijaya wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja digantikan Rajasawardhana

Hubungan antara Rajasawardhana dengan Kertawijaya tidak disebut secara tegas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat yang mengatakan kalau Rajasawardhana naik takhta setelah membunuh Kertawijaya. Pendapat lain mengatakan Rajasawardhana adalah putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu sebagai Dyah Wijayakumara. Identifikasi Kertawijaya dengan Brawijaya Brawijaya adalah nama raja Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat yang sangat populer dalam masyarakat Jawa.

Dikisahkan Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati dari negeri Campa yang beragama Islam. Brawijaya turun takhta tahun 1478 karena dikalahkan putranya dari selir, yang bernama Raden Patah.

Di Mojokerto ditemukan situs makam putri Campa yang diyakini sebagai istri Brawijaya. Batu nisan makam tersebut berangka tahun 1448, jatuh pada masa pemerintahan Kertawijaya.

Hal ini menimbulkan pendapat bahwa, tokoh Brawijaya identik dengan Kertawijaya. Bahkan, dalam bagan silsilah yang ditemukan pada pemakaman Ratu Kalinyamat di Jepara, ditulis nama Kertawijaya sebagai nama ayah Raden Patah.

Tokoh lain yang dianggap identik dengan Brawijaya adalah Bhre Kertabhumi putra Rajasawardhana, yang namanya terdapat dalam penutupan naskah Pararaton. Seringkali Bhre Kertabhumi disebut Brawijaya V, sedangkan Kertawijaya disebut Brawijaya I.

Identifikasi Kertawijaya dengan Brawijaya berdasarkan batu nisan putri Campa bertentangan dengan prasasti Waringin Pitu (1447). Menurut prasasti tersebut, nama permaisuri Kertawijaya bukan Ratu Dwarawati, melainkan Jayeswari.

Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, putri Campa yang dimakamkan di Mojokerto bukan istri raja Majapahit, melainkan istri Ma Hong Fu, seorang duta besar Cina untuk Jawa

3

81/3 <2+3> Raden Rajasawardhana Dyah Wijayakumara/ Brawijaya II [Majapahit Rajasa]
eured:
eured: <4> Manggalawardhani / Bhre Tanjungpura (Dyah Suragharini / Putri Junjung Buih) [Majapahit Rajasa]
titl: 1451 - 1453, Prabu Majapahit VIII bergelar Brawijaya II
Rajasawardhana dalam sejarah Kerajaan Majapahit merujuk pada dua orang. Yang pertama adalah pejabat Bhre Matahun pada pemerintahan Hayam Wuruk, sedangkan yang kedua adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1451-1453.

Rajasawardhana alias Bhre Matahun Menurut Nagarakretagama, Rajasawardhana alias Bhre Matahun adalah suami dari Indudewi alias Bhre Lasem putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Dari perkawinan itu, lahir Nagarawardhani yang menikah dengan Bhre Wirabhumi putra Hayam Wuruk, raja Majapahit saat itu (1351-1389).

Pejabat Bhre Matahun yang identik dengan Rajasawardhana dalam Pararaton adalah Raden Larang. Istrinya adalah adik kandung Hayam Wuruk. Perkawinan tersebut tidak menghasilkan keturunan, karena istri Bhre Wirabhumi versi Pararaton adalah putri Raden Sumana alias Bhre Paguhan, bukan putri Raden Larang.

Dalam hal ini, berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya, karena ditulis tahun 1365, saat Rajasawardhana masih hidup.

Rajasawardhana Sang Sinagara Raja Majapahit Rajasawardhana yang kedua muncul dalam Pararaton sebagai raja Majapahit yang naik takhta tahun 1451. Disebutkan bahwa, sebelum menjadi raja ia pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan, Bhre Keling, kemudian Bhre Kahuripan.

Rajasawardhana naik takhta menggantikan Dyah Kertawijaya. Hubungan antara keduanya tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat bahwa, Rajasawardhana adalah adik Dyah Kertawijaya yang melakukan kudeta disertai pembunuhan terhadap kakaknya tersebut.

Pendapat di atas perlu diselidiki kebenarannya, karena Pararaton menyebutkan, Dyah Kertawijaya adalah putra bungsu dalam keluarga Wikramawardhana.

Pendapat lain mengatakan, Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, yaitu putra sulung Dyah Kertawijaya yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu (1447).

Menurut prasasti Waringin Pitu, Dyah Wijayakumara memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak, yaitu Dyah Samarawijaya dan Dyah Wijayakarana.

Sementara itu, Rajasawardhana Sang Sinagara dalam Pararaton memiliki empat orang anak, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kertabhumi. Jika Rajasawardhana benar identik dengan Wijayakumara, berarti Bhre Kahuripan dan Bhre Mataram juga identik dengan Samarawijaya dan Wijayakarana. Mungkin, saat prasasti Waringin Pitu dikeluarkan (1447), Bhre Pamotan dan Bhre Kertabhumi belum lahir.

Pemerintahan Rajasawardhana juga terdapat dalam berita Cina. Disebutkan bahwa pada tahun 1452 Rajasawardhana mengirim duta besar ke Cina.

Menurut Pararaton, sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453, Majapahit mengalami kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Tokoh ini dianggap identik dengan Girisawardhana yang tercatat dalam prasasti Waringin Pitu.
42/3 <2> Dewi Subasiti [Majapahit Rajasa]
53/3 <2> Dewi Sitisari [Majapahit Rajasa]
64/3 <2> Adipati Arya Baribin - Pajajaran [Srie Pamekas - Nata / Raja Pajajaran] 75/3 <2> Dewi Wukut [Majapahit Rajasa]

4

101/4 <5+?> Ario Tambe Mojopahit [Mojopahit]
ganedigezh:
172/4 <8+?+?+?> Nagarawardhani [Majapahit Rajasa]
Rajasawardhana alias Bhre Matahun

Menurut Nagarakretagama, Rajasawardhana alias Bhre Matahun adalah suami dari Indudewi alias Bhre Lasem putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Dari perkawinan itu, lahir Nagarawardhani yang menikah dengan Bhre Wirabhumi putra Hayam Wuruk, raja Majapahit saat itu (1351-1389).

Pejabat Bhre Matahun yang identik dengan Rajasawardhana dalam Pararaton adalah Raden Larang. Istrinya adalah adik kandung Hayam Wuruk. Perkawinan tersebut tidak menghasilkan keturunan, karena istri Bhre Wirabhumi versi Pararaton adalah putri Raden Sumana alias Bhre Paguhan, bukan putri Raden Larang.

Dalam hal ini, berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya, karena ditulis tahun 1365, saat Rajasawardhana masih hidup.
163/4 <8> Girishawardhana Dyah Suryawikrama / Bhra Hyang Purwawisesa (Dyah Suryawikrama / Brawijaya III) [Majapahit Rajasa]
titl: 1456 - 1466, Prabu Majapahit XI bergelar Brawijaya III
marvidigezh: 1466
Girishawardhana Dyah Suryawikrama adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1456-1466. Ia dianggap identik dengan Bhra Hyang Purwawisesa dalam Pararaton.

Bhra Hyang Purwawisesa dalam Pararaton Menurut Pararaton, Sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453 Majapahit dilanda kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Pada tahun 1462 terjadi bencana gunung meletus mewarnai pemerintahannya.

Pada tahun 1466 Hyang Purwawisesa meninggal dunia dan dicandikan di Puri. Ia digantikan oleh Bhre Pandansalas sebagai raja selanjutnya.

Girisawardhana Dyah Suryawikrama Tokoh Hyang Purwawisesa dianggap identik dengan Girisawardhana Dyah Suryawikrama, raja Majapahit yang mengeluarkan prasasti Sendang Sedur tahun 1463. Nama Dyah Suryawikrama sebelumnya juga muncul dalam prasasti Waringin Pitu (1447), sebagai putra kedua Dyah Kertawijaya.

Jika Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, kakak Suryawikrama. Maka, kekosongan pemerintahan selama tiga tahun dapat diperkirakan terjadi karena adanya perebutan takhta antara Suryawikrama melawan Samarawijaya putra sulung Wijayakumara.

Prasasti Waringin Pitu juga menyebutkan Samarawijaya adalah menantu Suryawikrama. Mungkin pada tahun 1456 persaingan antara keduanya berakhir setelah Samarawijaya merelakan takhta Majapahit kepada Suryawikrama, yang tidak lain adalah paman sekaligus mertuanya tersebut.
94/4 <8+?> Bhre Kertabhumi/ Wijaya Parakramawardhana / Raden Alit (Brawijaya V) [Majapahit Rajasa]
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Taolenn

Bhre Kertabhumi / Brawijaya V

Bre Kertabhumi / Prabu Brawijaya, atau kadang disebut Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang lahir sekitar tahun 1413 M (Kalkulasi penanggalan berdasarkan kelahiran Raden Patah menurut Kronik Cina pada tahun 1455 Raden Patah, dimana Bre Kertabhumi pada saat itu belum menjadi raja karena penerus 2 generasi Kerajaan Majaphit dipegang oleh 2 Pamannya selama 15 tahun. Bhre Kertabhumi mulai memerintah tahun 1468 dan wafat pada tahun 1478 M. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri, setelah berhasil menaklukan Bhre Kertabhumi.


Daftar isi

  1. Kisah hidup
  2. Asal usul nama
  3. Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
  4. Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
  5. Teori keruntuhan Majapahit
  6. Pemakaian nama Brawijaya
  7. Lihat pula
  8. Kepustakaan

Kisah hidup

Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya[rujukan?] yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri Arya Damar.[1]

Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Champa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.

Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan.

Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:

  1. Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
  2. Prabu Brakumara
  3. Prabu Brawijaya I
  4. Ratu Ayu Kencanawungu
  5. Prabu Brawijaya II
  6. Prabu Brawijaya III
  7. Prabu Brawijaya IV
  8. dan terakhir, Prabu Brawijaya V

Sering terjadi kesalah pahaman dgn menganggap Brawijaya sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan, dan memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha.


Silsilah Raja-raja Majapahit

Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.

Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[1].


Asal usul nama

Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.

Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya.[rujukan?] Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.

Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.

Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara.[rujukan?] Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.

Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.

Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa[rujukan?] sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun "ditempatkan" sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.

Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan masyarakat Jawa[rujukan?] berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.

Bhre Kertabhumi dalam Pararaton

Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis: Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400. Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu.[rujukan?] Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.

Teori yang cukup populer[rujukan?] menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.

Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik[rujukan?] dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.

Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina

Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang.

Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.

Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.

Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.

Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.

Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.

Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.

Teori keruntuhan Majapahit

Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain: Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melalui Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer dalam masyarakat Jawa. Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Raden Patah. Setelah itu Majapahit menjadi bawahan Kesultanan Demak. Teori ini muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang. Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit. Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478.

Pemakaian nama Brawijaya

Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur.

Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Museum Brawijaya di kota Malang dan Stadion Brawijaya di Kediri. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.

Kepustakaan

Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Babad Tanah Jawi. 2007. (terjemahan). Yogyakarta: Narasi H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
115/4 <8> Putri [Majapahit Girindrawardhana] 126/4 <8> Putri [Majapahit Girindrawardhana] 137/4 <6+5> Adipati Wirohutomo I / Raden Jaka Katuhu [Srie Pamekas - Nata / Raja Pajajaran]
NB:
  • Babad Wirasaba meceriterakan asal usul R.Jaka Katuhu dan R.Paguwon (Adipati Wirahudaya) yang saat ini menjadi Adipati I di Kadipaten Wirasaba I (abad ke 15). R Jaka Katuhu putera sulung R Harya Baribin Pandhita Putera, dan menjadi menantu Prabu Linggawastu karena dikawinkan dengan puteri tunggalnya, Dewi Retna Pamekas. R Jaka Katuhu meninggalkan Kraton Pakuan Parahyangan untuk berkelanan ke tanah Jawa dan akhirnya sampai di desa Buwara; Disana dijadikan anak angkat Ki Lurah Buwara yang tidak memiliki keturunan. R.JaKa Katuhu membantu perluasan ladang pertanian Ki Lurah Buwara, dengan membakar daun/ranting sehingga tjahaya membumbung memancar keudara terlihat dari kadipaten Wirasaba; [[Adipati Wirahudaya]] menyelidiki dan memanggil Ki Lurah Burawa & Jaka Katuhu, dan diketahuilah asal usul Jaka Katuhu; Sehingga Adipati Wirahudaya berkeinginan mengangkat putera R.Jaka Katuhu karena di tidak dikarunia keturunan hingga usia tuanya. Ketika tiba waktunya Pisowanan Ageng di Kratom Majapahit, Adipati Wirahudaya sedang menderita sakit. Maka diutuslah R Jaka Katuhu untuk mewakili menghadap Prabu Brawijaya V, menghaturkan upeti kepada Sri Baginda; Keberangkatannya ke Majapahit diantar oleh Patih Wirasaba, Raden Bawang, dan adik Sang Adipati. Pada saat menghadap Sang Prabu Brawijaya V, ditanyakan asal usul R Jaka Katuhu, karena ynag bertanya adalah raja maka ia terus terang bahwa ia adalah putera R Harya Baribin Pandhita Putera, menantu Sri Prabu Linggawastu Ratu Purana Jaya Dewata dari Kraton Pakuan Parahiyangan di tanah Pasundan. mendengar nama R Harya Baribin, Sang Prabu terkejut dan tida mengira bahwa Jaka Katuhu ternyata putera adik kandungnya sendiri. R Baribin melarikan diri pada masa Prabu Brawijaya V menjadi Raja Majapahit, ia difitnah oleh beberapa punggawa kraton yang akan merebut kekuasaaan, sehingga diperintahkan ditangkap; Fitnah itu dari kelompok Patih Majapahit saat itu. Fitnah tsb. yang akhirnya terbokngkar kedoknya; sehingga Sang Prabu Brawijaya V menyesal asal tindakannya terkena provoasi.
  • Raden Jaka Katuhu kasengkakaken ing ngaluhur (kembali diangkat derajatnya sebagai bangsawan Kraton) dan dibait'an menjadi Adipati Anom Wirasaba dengan gelar Adipati Anom Wirahutama. Selain dihadiahi seorang isteri bernama Putrisari salah satu puteri Mahapatih Majapahit; Dan dijinkan memperluas wilayah Kadipaten Wirasaba sampai ujung timur hingga lereng barat Gunung Sindoro Sumbing di wilayah Kedu.
  • Babad Banyumas menceriterkan sejarah wilayah Banyumas bagian timur yang terkait hubungan trah dengan kerajaan Pajajaran - Majapahit II abad ke 15 & 16 (1429-1522) melalui garis trah Adipati Wirohutomo I (Raden Jaka Katuhu) pada masa Kadipaten Wirasaba I (zaman Hindu, abad ke 15) maupun trah Adipati Wargahutama II ( R Jaka Kaiman, keturunan trah Pangeran Senapati Mangkubumi II, Pasirbatang).
148/4 <8> Putri [Majapahit Girindrawardhana] 159/4 <6> Raden Banyak Catra / Raden Kamandaka [Pajajaran]
1810/4 <8+?> Raden Mertawijaya / Bhre Pamotan Karo [Majapahit Rajasa]
1911/4 <8+?> Raden Alit Adaningkung / Bhre Kahuripan Kapitu [Bhre Kahuripan VII]
2012/4 <8+?> Raden Angkawijaya / Bhre Mataram Kapanca [Bhre Mataram V]

5

241/5 <9+14+?> Bondan Kejawen / Rahaden Bondhan Kejawan Aryo Lembu Peteng (Ki Ageng Tarub 3) [Brawijaya V]
ganedigezh: Jurumertani sudah pada waktunya untuk mengirim Pajak Hasil Bhumi ke Kerajaan, dalam perjalanannya di ikuti oleh Bondan, yang tidak diketahui Jurumertani, Sesampainya di Kerajaan menyerahkan Pajakhasil Bumi, kemudian menghadap sang Prabu, Namun mendadak terdengan suara Gong Berbunyi, mengejutkan Sang Prabu dan seluruh isi kerajaan termasuk Jurumertani, setelah dikejar tertangkaplah seorang anak "Bondan", dan diserahkan pada sang Prabu, melihat kejadian itu Jurumertani terbelalak KAGET, dan menghampiri Prabu sambil berbisik Itu adalah Putera-sang Prabu. Sang Prabu menatap wajah si Bondan dengan seksama, kemudian penasehat spirituil Kerajaan menhampiri Sang Prabu berkata, Anak turun dari Anak itu (Bondan) akan menjadi Raja-raja ditanah jawa
ganedigezh: Petilasan Makam dari Bondan Kejawan ada : 3 Tempat yaitu : 1. Desa Taruban-Purwodadi, dari kota Purwodadi ke arah Blora Km 13 ada perempatan belok Kanan 2km ada Situs yang dikelola oleh Kasunanan Surakarto, dsisin ada makam Ki Ageng Tarub I, dan R Bondan Kejawan ( Ki Ageng Tarub II) 2. 1 Km dari sini ( Ds Taruban ) arah ke perempatan ada Tandingan seolah-olah Makam Bondan Kejawan 3. Sebelah barat Kota Yogya ( Jl Wates dkt SPBU) ada dusun Kejawen disana ada makan Bondan Kejawan Pahlawan Majapahit
eured: <19> Retno Dewi Nawangsih [Al Hasani]
eured:
eured: <19!> Retno Dewi Nawangsih [Al Hasani]
252/5 <11+15> Raden Hario Panambangan [Panambangan]
ganedigezh:
263/5 <11+15> Raden Hario Pagendingan [Pagendingan]
ganedigezh:
334/5 <9+11> 17. Puteri Hadi / Putri Ratna Marsandi [Brawijaya V]
ganedigezh: anak No 17 dari Bhre Kertabhumi ( Brawidjaja V ), suami dari Juru Paniti
eured: <20> Juru Paniti [?]
355/5 <9> 11. Raden Sudjana / Lembu Niroto [Brawijaya V]
titl: Adipati Blambangan
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
0.Geneology Kasunanan Surakarta Hadiningrat, disusun-dipost oleh : HR Widodo AS
1.Buku Silsilah Trah Pangeran Lanang Dangiran - Silsilah Pangeran Lanang Dangiran ( Ki Ageng Brondong ),Bab Asal Usul Keluarga Kasepuhan Kanoman Surabaya, 142 halaman (Cetakan). Diselesaikan di Surabaya, Senen Kliwon,Tanggal 01 Agustus 1966 atau 14 Bakdo-Mulud 1898. Oleh Raden Panji Ario Makmoer, beralamat di Kapas Krampung No:90, Surabaya. Penasihat:
 -Raden Adipati Arya Nitiadiningrat (Bupati Surabaya)
 -Raden Tumenggung Arya Notoadikoesoemo (Zainal Fattah), Bupati Pamekasan-Madura;
 -Raden Ngabei Kromodjoyoadirono/R.B.Yasin (Asisten Wedana) 
   
2.Buku Silsilah Keluarga K5 (Keluarga Kasepuan_ Kanoman_Kromodjayan_Kesambongan) Surabaya - Bab I s/d Bab IX, terdiri     dari  49 Halaman, (Cetakan) Oleh :
 -Raden Tumenggung Arya Notoadikoesoemo (Zainal Fattah), Bupati Pamekasan-Madura; , Surabaya (saat itu)
 -Dan ditulis kembali oleh Mas Ngabei Soekotjo Purbokusumo, Surabaya 06 Desember 1956;
3.Buku Silsilah Keluarga Kromodjayan Mojokerto - Silsilah Kromodjayan, Pakem Kilat trah Boto Putih, trah Kasepuhan Surabaya, trah Kanoman Surabaya, trah Kasepuhan Sidoarjo, trah Sambongan,trah Nitidingrat_Pasuruan, trah Notodiningrat_Bangil Pasuruan, trah Bustaman_Semarang, trah Puspunegoro Gresik, Han Dinasti, trah Tjitrosoma Tuban, trah Batoro Katong_Ponorogo, trah Suryowinoto Gresik., 102 Halaman(Tulisan Tangan). Oleh Raden Ngabei Kromodjoyoadirono (Raden Bagus Yasin) Diselesaikan di Surabaya tanggal. 08 Juni 1980.
4. Buku Asal Silah - Kumpulan Silsilah Trah (Pengeran Lanang Dangiran, Sambongan, Kasepuhan Sidoarjo, Tjitrosoma Tuban, Batoro Katong Ponorogo). Oleh Raden Anang Soekarso, 66 halaman; diselesaikan di Surabaya 21 Agustus 2008 dan di edit ulang 18 Sya'ban 1429 H.


-
366/5 <9> Raden Jaka Dhalak [Brawijaya]
ganedigezh: Diputus : 25677
387/5 <9+8> Hario Dewa Ketul [Brawijaya V]
micher: Bali, Adipati di Bali
688/5 <9+8> Raden Jaka Lancing / Banyakpatra / Harya Surengbala / Panembahan Madiretna [Brawijaya V]
ganedigezh: Grade #1 Brawijaya V
749/5 <9+8> Raden Jaka Lawu [Brawijaya V]
marvidigezh: Java, Indonesia, Mount Lawu
9010/5 <9+8> Raden Jaka Tangkeban / ? (Raden Anengwulan/Wanengwulan) [Brawijaya V]
marvidigezh: Gunung Kidul
9111/5 <9+8> Raden Jaka Buras / Raden Palingsingan [Brawijaya V]
marvidigezh: Gunung Kidul
10912/5 <9+8> Raden Jaka Dalun / Raden Gagak Pranolo (Raden Jaka Dalem) [Brawijaya V]
marvidigezh: Solo
11613/5 <9+8> Raden Jaka Panekti / Raden Lawangsari (Raden Jaka Tawangsari) [Brawijaya V]
marvidigezh: Taruwongso, Sukoharjo
11814/5 <15> Adipati Mrapat / Raden Joko Kahiman [Majapahit]
titl: (Adipati Banyumas Pertama (1582-1583))
2915/5 <9+12> Jaka Dillah / Arya Damar (Raja Palembang) [Brawijaya V]
Ayah Tiri Raden Patah

Arya Damar adalah pahlawan legendaris sehingga nama besarnya selalu diingat oleh masyarakat Jawa. Dalam naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi, tokoh Arya Damar disebut sebagai ayah tiri Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak.

Dikisahkan ada seorang raksasa wanita ingin menjadi istri Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad). Ia pun mengubah wujud menjadi gadis cantik bernama Endang Sasmintapura, dan segera ditemukan oleh patih Majapahit (yang juga bernama Gajah Mada) di dalam pasar kota. Sasmintapura pun dipersembahkan kepada Brawijaya untuk dijadikan istri.

Namun, ketika sedang mengandung, Sasmintapura kembali ke wujud raksasa karena makan daging mentah. Ia pun diusir oleh Brawijaya sehingga melahirkan bayinya di tengah hutan. Putra sulung Brawijaya itu diberi nama Jaka Dilah.

Setelah dewasa Jaka Dilah mengabdi ke Majapahit. Ketika Brawijaya ingin berburu, Jaka Dilah pun mendatangkan semua binatang hutan di halaman istana. Brawijaya sangat gembira melihatnya dan akhirnya sudi mengakui Jaka Dilah sebagai putranya.

Jaka Dilah kemudian diangkat sebagai bupati Palembang bergelar Arya Damar. Sementara itu Brawijaya telah menceraikan seorang selirnya yang berdarah Cina karena permaisurinya yang bernama Ratu Dwarawati (putri Campa) merasa cemburu. Putri Cina itu diserahkan kepada Arya Damar untuk dijadikan istri.

Arya Damar membawa putri Cina ke Palembang. Wanita itu melahirkan putra Brawijaya yang diberi nama Raden Patah. Kemudian dari pernikahan dengan Arya Damar, lahir Raden Kusen. Dengan demikian terciptalah suatu silsilah yang rumit antara Arya Damar, Raden Patah, dan Raden Kusen.

Setelah dewasa, Raden Patah dan Raden Kusen meninggalkan Palembang menuju Jawa. Raden Patah akhirnya menjadi raja pertama Kesultanan Demak, dengan bergelar Panembahan Jimbun.

Seputar Tokoh Swan Liong Kisah hidup Raden Patah juga tercatat dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang. Dalam naskah itu, Raden Patah disebut dengan nama Jin Bun, sedangkan ayah tirinya bukan bernama Arya Damar, melainkan bernama Swan Liong.

Swan Liong adalah putra raja Majapahit bernama Yang-wi-si-sa yang lahir dari seorang selir Cina. Mungkin Yang-wi-si-sa sama dengan Hyang Wisesa atau mungkin Hyang Purwawisesa. Kedua nama ini ditemukan dalam naskah Pararaton.

Swan Liong bekerja sebagai kepala pabrik bahan peledak di Semarang. Pada tahun 1443 ia diangkat menjadi kapten Cina di Palembang oleh Gan Eng Cu, kapten Cina di Jawa.

Swan Liong di Palembang memiliki asisten bernama Bong Swi Hoo. Pada tahun 1445 Bong Swi Hoo pindah ke Jawa dan menjadi menantu Gan Eng Cu. Pada tahun 1451 Bong Swi Hoo mendirikan pusat perguruan agama Islam di Surabaya, dan ia pun terkenal dengan sebutan Sunan Ampel.

Swan Liong di Palembang memiliki istri seorang bekas selir Kung-ta-bu-mi raja Majapahit. Mungkin Kung-ta-bu-mi adalah ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Dari wanita itu lahir dua orang putra bernama Jin Bun dan Kin San.

Pada tahun 1474 Jin Bun dan Kin San pindah ke Jawa untuk berguru kepada Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Tahun berikutnya, Jin Bun mendirikan kota Demak sedangkan Kin San mengabdi kepada Kung-ta-bu-mi di Majapahit.

Tidak diketahui dengan pasti sumber mana yang digunakan oleh pengarang kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong di atas. Kemungkinan besar si pengarang pernah membaca Pararaton sehingga nama-nama raja Majapahit yang ia sebutkan mirip dengan nama-nama raja dalam naskah dari Bali tersebut. Misalnya, si pengarang kronik tidak menggunakan nama Brawijaya yang lazim digunakan dalam naskah-naskah babad.

Jika dibandingkan dengan Babad Tanah Jawi, isi naskah kronik Cina Sam Po Kong terkesan lebih masuk akal. Misalnya, ibu Arya Damar adalah seorang raksasa, sedangkan ibu Swan Liong adalah manusia biasa. Ayah Arya Damar sama dengan ayah Raden Patah, sedangkan ayah Swan Liong dan Jin Bun berbeda.

[sunting] Arya Dilah dari Palembang Lain lagi dengan naskah dari Jawa Barat, misalnya Hikayat Hasanuddin atau Sejarah Banten. Naskah-naskah tersebut menggabungkan nama Arya Damar dengan Jaka Dilah menjadi Arya Dilah, yang juga menjabat sebagai bupati Palembang. Selain itu, nama Arya Dilah juga diduga berasal dari nama Arya Abdilah.

Dikisahkan ada seorang perdana menteri dari Munggul bernama Cek Ko Po yang mengabdi ke Majapahit. Putranya yang bernama Cu Cu berhasil memadamkan pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Raja Majapahit sangat gembira dan mengangkat Cu Cu sebagai bupati Demak, bergelar Molana Arya Sumangsang.

Dengan demikian, Arya Sumangsang berhasil menjadi pemimpin Demak setelah mengalahkan Arya Dilah. Kisah dari Jawa Barat ini cukup unik karena pada umumnya, raja Demak disebut sebagai anak tiri bupati Palembang.

Sementara itu, berita tentang pemberontakan Palembang ternyata benar-benar terjadi. Kronik Cina dari Dinasti Ming mencatat bahwa pada tahun 1377 tentara Majapahit berhasil menumpas pemberontakan Palembang.

Rupanya pengarang naskah di atas pernah mendengar berita pemberontakan Palembang terhadap Majapahit. Namun ia tidak mengetahui secara pasti bagaimana peristiwa itu terjadi. Pemberontakan Palembang dan berdirinya Demak dikisahkannya sebagai satu rangkaian, padahal sesungguhnya, kedua peristiwa tersebut berselang lebih dari 100 tahun.
2216/5 <9+14> Raden Patah Adipati Jinbun / Sultan Bintoro Demak I [Bra.5.13] (Lembu Kenogo / Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama) [Brawijaya V]
ganedigezh: 1455, Palembang
eured: <23> 11.1.5. Raden Siti Murtasimah / Asyiqah [Ampel]
eured: <24> Puteri Bupati Jipang Panolan [Jipang]
eured: <25> Putri Dari Randu Sanga [Randu Sanga]
titl: 1475 - 1518, Raja Demak Ke 1 (1500-1518), "Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun"
marvidigezh: 1518, Demak
Władcy Demaku
   * Patah (władca (panembahan senapati dżimbun) Demaku (Bintoro) pod zwierzchnością Majapahitu na terenie Jawy Środkowej 1478/1500-1490/1511)
   * Sabrang Lor (1490/1511-1495/1518)
   * Junus (1518-1521; zrzucił zwierzność Majapahitu 1520) [syn Pataha]
   * Trengganu (sułtan 1521-1539) [brat]
   * Prawata (1539/46) [syn]
   * Pangiri (władca (arja) 1547) [syn]
   * Penengsan (uzurpator 1547-?)
   * Karebet (władca (pangeran) ?-1582) [zięć]
* Mataram podbija Demak 1582
2817/5 <16> Bhre Pandansalas / Dyah Suraprabhawa (Bhre Tumapel Singhawikramawardhana / Brawijaya IV) [Majapahit Rajasa]
eured: <26> Bhre Tanjungpura / Manggalawardhani Dyah Suragharini (Putri Junjung Buih/Putri Ratna Janggala Kadiri) [Majapahit Rajasa]
eured: <27> Rajasawardhanadewi Dyah Sripura [Bhre Singhapura]
titl: 1466 - 1474, Majapahit, Raja Majapahit X bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta (Brawijaya IV)
marvidigezh: 1474, Didarmakan di Sri Wisnupura - Jinggan
Dyah Suraprabhawa adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1474, bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta. Tokoh ini identik dengan Bhre Pandansalas dalam Pararaton yang naik takhta tahun 1466.

Bhre Pandansalas dalam Pararaton Dalam Pararaton ditemukan beberapa orang yang menjabat sebagai Bhre Pandansalas. Yang pertama adalah Raden Sumirat putra Raden Sotor (saudara tiri Hayam Wuruk). Raden Sumirat bergelar Ranamanggala menikah dengan Surawardhani adik Wikramawardhana. Dari perkawinan itu lahir Ratnapangkaja, Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ratnapangkaja kemudian kawin dengan Suhita (raja wanita Majapahit, 1427-1447).

Bhre Pandansalas yang pertama tersebut setelah meninggal dicandikan di Sri Wisnupura di Jinggan.

Bhre Pandansalas yang lain diberitakan menjadi Bhre Tumapel, kemudian menjadi raja Majapahit tahun 1466. Istrinya menjabat Bhre Singhapura, putri Bhre Paguhan, putra Bhre Tumapel, putra Wikramawardhana.

Diberitakan dalam Pararaton, setelah Bhre Pandansalas menjadi raja selama dua tahun, kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi.

[sunting] Kematian Suraprabhawa Dyah Suraprabhawa yang dianggap identik dengan Bhre Pandansalas, tercatat namanya dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra bungsu Dyah Kertawijaya. Istrinya bernama Rajasawardhanadewi Dyah Sripura yang identik dengan Bhre Singhapura. Peninggalan sejarah Suraprabhawa setelah menjadi raja berupa prasasti Pamintihan tahun 1473.

Pararaton tidak menyebutkan dengan pasti kapan Bhre Pandansalas alias Suraprabhawa meninggal. Ia hanya diberitakan meninggal di dalam keraton, dan merupakan paman dari Bhre Kertabhumi.

Tahun kematian Suraprabhawa kemudian ditemukan dalam prasasti Trailokyapuri yang dikeluarkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Menurut prasasti tersebut, Suraprabhawa alias Singhawikramawardhana meninggal tahun 1474.

Girindrawardhana yang menjadi raja Majapahit tahun 1486 mengaku sebagai putra Singhawikramawardhana. Hal ini dapat diperkuat adanya unsur kata Giripati dalam gelar abhiseka Singhawikramawardhana yang sama artinya dengan Girindra, yaitu raja gunung.

Jadi, pemerintahan Dyah Suraprabhawa Singhawikramawardhana berakhir tahun 1474 dan digantikan oleh keponakannya, yaitu Bhre Kertabhumi putra Rajasawardhana, yang sebelumnya pergi meninggalkan istana bersama ketiga kakaknya. Meskipun tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, dapat dipastikan Bhre Kertabhumi melakukan kudeta terhadap Dyah Suraprabhawa karena ia sebagai putra Rajasawardhana, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya itu.

Pararaton memang tidak menyebut dengan jelas kalau Bhre Kertabhumi adalah raja yang menggantikan Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa. Justru dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong, diketahui kalau Kung-ta-bu-mi adalah raja Majapahit yang memerintah sampai tahun 1478.
2318/5 <9+10> 21. Bathara Katong / Lembu Kanigoro (Raden Joko Piturun) [Brawijaya V]
eured: <28> Niken Gandani ? (Ki Ageng Kutu) [?]
titl: 11 Eost 1496, Ponorogo, Adipati Ponorogo I
== Bathara Katong ==

Bathara Katong adalah pendiri Kabupaten Ponorogo dan juga merupakan Adipati pertama Ponorogo. Bathara Katong merupakan utusan Kerajaan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo.


Taolenn

Daftar isi

1 Asal-usul Bathara Katong
2 Pertarungan dengan Ki Ageng Kutu
3 Pendirian Ponorogo
4 Pemakaian nama Bathara Katong
5 Lihat pula
6 Pranala luar


Asal-usul Bathara Katong

Bathara Katong, memiliki nama Asli Lembu Kanigoro, adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya atau Bhre Kertabhumi dari selirnya yaitu Putri Campa yang beragama Islam. Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Bathara Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).

Mulai redupnya kekuasaan Majapahit dan saat kakak tertuanya "Lembu Kenongo" yang berganti nama menjadi Raden Patah mendirikan kesultanan Demak Bintoro, Lembu Kanigoro mengikut jejak kakaknya untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak.


Pertarungan dengan Ki Ageng Kutu

Prabu Brawijaya pada masa hidupnya berusaha diislamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya. Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk diislamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kutu, Ki Ageng Kutu kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan Reog tidak lain merupakan simbol kritik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak).

Upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat Basis di Ponorogo (Wengker) dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit dan kasultanan Demak. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu. Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan Bathara Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Bathara Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Hindu, Budha, animisme dan dinamisme. Setelah Bathara Katong memasuki Ponorogo terjadilah pertarungan antara Bathara Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Bathara Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Bathara Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri. Niken Gandini dimanfaatkan Bathara Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringinanom Sambit Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu disebut dengan Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Bathara Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini mungkin dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah Ki Ageng Kutu menghilang, Bathara Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara.


Pendirian Ponorogo

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Bathara Katong. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena Bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Setelah hutan selesai dibabat, bangunan-bangunan didirikan sehingga penduduk pun berdatangan. Setelah istana kadipaten didirikan, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, Niken Sulastri ke istana kadipaten, sedang adiknya, Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah Babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Bathara Katong kemudian menjadi Adipati di Ponorogo. Menurut Handbook of Oriental History hari wisuda Bathara Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai dihilangkan dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Para punggawa dan anak cucu Bathara Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.


Pemakaian nama Bathara Katong

Nama Bathara Katong diabadikan sebagai nama stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo.
2119/5 <9+11> 3. Dyah Hayu Ratna Pembayun / Nyai Handayaningrat Pengging [Brawijaya V] 2720/5 <16> Raden Arya Brominto / Raden Panoelak (Prabu Brokumoro - Gelang) [Prabu Brawijaya III]
3021/5 <13> Adipati Wirohutomo III / R Jaka Hurang / Adipati Wirasaba [Srie Pamekas - Nata / Raja Pajajaran]
3122/5 <9+10> Adipati Lowano [Brawijaya V]
3223/5 <9+11> Pangeran Panggung / Wali Joko [Brawijaya V]
== WALI JOKO/Raden Panggung ==


Wali Joko yang memiliki nama kecil Jaka Suwirya adalah kakak-beradik dengan Sunan Katong yang konon dimakamkan di Kaliwungu. Wali Joko yang di saat mudanya bernama Pangeran Panggung, merupakan putra bungsu Prabu Kertabumi atau Prabu Brawijaya V dengan Permaisuri Dewi Murdaningrum, seorang putri dari Kerajaan Campa (ada yang menyebutkan Kamboja atau Thailand saat ini).

Berdasarkan penelusuran sejarah yang berhasil dirangkum, disebutkan bahwa Wali Joko masih memiliki hubungan darah dengan Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak Bintoro. Dimana, Raden Patah adalah putra Prabu Kertabumi dengan Permaisuri putri Kerajaan Campa, Dewi Kian.

Saat muda, Pangeran Panggung pernah berguru pada Syeh Siti Jenar. Raden Patah yang mengetahui hal ini, kemudian menasehati Wali Joko agar meninggalkan ajaran yang dinilai menyimpang dari syariat Islam, utamanya di bidang tauhid itu. Raden Patah menyarankan agar Wali Joko belajar agama kepada Sunan Kalijaga yang beraliran ahlusunnnah wal jama'ah.

Sekitar tahun 1500 Masehi, atau tepatnya 1210 H, Pangeran Panggung mendirikan sebuah masjid di Kendal. Pangeran Panggung datang dan mendirikan masjid di daerah Kendal, setelah melewati pengembaraan yang cukup panjang. Pengembaraan yang harus dilakukan, setelah kerajaannya, yaitu Majapahit, runtuh karena diserang pasukan Prabu Girindra Wardhana dari Kediri.

Di masjid yang didirikannya, Wali Joko memiliki sejumlah santri. Beliau menanggung seluruh kebutuhan hidup para santrinya. Selain diberi pembelajaran ilmu agama, para santri juga dikaryakan antara lain dengan mengolah lahan pertanian dan tambak.

Kini, masjid peninggalan Wali Joko tersebut dikenal dengan Masjid Agung. Seiring berjalannya waktu, masjid yang berdiri gagah di pusat Kota Kendal ini telah mengalami delapan kali renovasi. Di sisi lain, tidak banyak benda-benda peninggalan yang dapat ditemui di masjid itu.

Menurut catatan takmir masjid, sejarah hanya menyisakan antara lain berupa, maksurah atau tempat shalat bagi bupati kala itu, mimbar tempat khotbah berbahan kayu jati yang di bagian muka bertuliskan tahun 1210 H, serta bergambar beduk dan penabuhnya.

Di kompleks berdirinya masjid yang saat ini sedang dibangun sebuah menara dengan tinggi 45 meter. Adanya makam di kompleks masjid, pada awalnya adalah rumah Wali Joko. Selain makam Wali Joko yang berada di depan sebelah selatan Masjid Agung Kendal, di belakang masjid juga terdapat dua makam ulama lainnya, yaitu makam Kiai Abu Sujak yang di era 1800-an adalah penghulu pertama Masjid Agung Kendal dan makam Wali Hadi yang meninggal pada 1930.

Tradisi peninggalan Wali Joko yang masih dapat ditemui di Masjid Agung Kendal, salah satunya ialah membuat tradisi buka bersama dan juga Kegiatan Tadarus di bulan Ramadan serta menggelar pengajian Kitab Kuning (kitab yang berisi uraian dan penjabaran para ulama yang bersumber dari Alquran dan Hadis.
3424/5 <9+11> 22. Aria Gugur / Sunan Lawu [Brawijaya V]
3725/5 <9+8> Dewi Manik [Brawijaya V] 3926/5 <9+8> Raden Jaka Prabangkara [Brawijaya V]
4027/5 <9+8> Raden Jaka Krewet [Brawijaya V]
4128/5 <9+8> Raden Jaka Kretek [Brawijaya V]
4229/5 <9+8> Raden Surenggana [Brawijaya V]
4330/5 <9+8> Putri Ratna Bintara [Brawijaya V] 4431/5 <9+8> Ratu Ayu [Brawijaya V] 4532/5 <9+8> Raden Gajah Pramana [Brawijaya V]
4633/5 <9+8> Putri Ratna Marlangen [Brawijaya V] 4734/5 <9+8> Putri Ratna Sataman [Brawijaya V] 4835/5 <9+8> Putri Ratna Satamin [Brawijaya V] 4936/5 <9+8> Putri Kanistren / Raden Retno Kanitren [Brawijaya V] 5037/5 <9+8> Putri Kaniraras / Putri Kanilaras [Brawijaya V] 5138/5 <9+8> Dewi Ambar [Brawijaya V] 5239/5 <9+8> Raden Hario Surongsong [Brawijaya V]
5340/5 <9+8> Raden Hario Wangsa / Kyai Ageng Pilang [Brawijaya V]
5441/5 <9+8> Raden Jaka Dandun / Syeh Belabelu [Brawijaya V]
5542/5 <9+8> Raden Jaka Dander / Nawangsaka (Raden Jaka Sander) [Brawijaya V]
5643/5 <9+8> Raden Jaka Balot / Kidangsana [Brawijaya V]
5744/5 <9+8> Raden Jaka Barak / Carang Gana [Brawijaya V]
5845/5 <9+8> Raden Jaka Paturih / Pacangkringan [Brawijaya V]
5946/5 <9+8> Putri Dewi Sampur [Brawijaya V]
6047/5 <9+8> Raden Jaka Laweh / Duruan [Brawijaya V]
6148/5 <9+8> Raden Jaka Jaduk / Malang Sumirang [Brawijaya V]
6249/5 <9+8> Raden Jaka Balut / Megatsari [Brawijaya V]
6350/5 <9+8> Raden Jaka Suwung [Brawijaya V]
6451/5 <9+8> Dewi Soekati [Brawijaya V]
6552/5 <9+8> Raden Jaka Tarwa / Banyakwulan [Brawijaya V]
6653/5 <9> Raden Jaka Maluwa / Banyak Modang [Brawijaya V]
6754/5 <9+8> Raden Jaka Lanang / Banyak Bakung [Brawijaya V]
6955/5 <9+8> Putri Dewi Rantang [Brawijaya V]
7056/5 <9+8> Raden Jaka Semprung / Kiyahi Ageng Brandet [Brawijaya V]
7157/5 <9+8> Raden Kunijang / Hario Tepos [Brawijaya V]
7258/5 <9+8> Raden Jaka Lemboso / Hario Pacetlondo [Brawijaya V]
7359/5 <9+8> Raden Jaka Lirih [Brawijaya V]
7560/5 <9+8> Putri Dewi Paniwet [Brawijaya V]
7661/5 <9+8> Raden Jaka Barong [Brawijaya V]
7762/5 <9+8> Raden Jaka Blabur / Saputarup [Brawijaya V]
7863/5 <9+8> Raden Jaka Bindho / Raden Baratketigo (Raden Jaka Balado/Raden Barat Ketigo) [Brawijaya V]
7964/5 <9+8> Raden Jaka Budu / Raden Tawangbalun (Raden Tawangalun) [Brawijaya V]
8065/5 <9+8> Raden Jaka Tarikbolong [Brawijaya V]
8166/5 <9+8> Raden Jaka Lengis / Raden Jejeran (Raden Jajatan) [Brawijaya V]
8267/5 <9+8> Raden Guntur [Brawijaya V]
8368/5 <9+8> Raden Jaka Malot / Raden Panjangjiwo (Raden Jaka Malad) [Brawijaya V]
8469/5 <9+8> Raden Jaka Sinorang / Sulangjiwa [Brawijaya V]
8570/5 <9+8> Raden Jaka Jatang / Singapadu [Brawijaya V]
8671/5 <9+8> Raden Jaka Karawu / Raden Macanpuro (Raden Jaka Karadu) [Brawijaya V]
8772/5 <9+8> Raden Jaka Krendo / Raden Harya Panular (Raden Jaka Krendha) [Brawijaya V]
8873/5 <9+8> Raden Jaka Jinggring / Norowito [Brawijaya V]
8974/5 <9+8> Raden Jaka Salembar ? (Raden Jaka Panangkilan) [Brawijaya V]
9275/5 <9+8> Raden Jaka Kaburu / Raden Pasingsingan [Brawijaya V]
9376/5 <9+8> Raden Jaka Lambang Kyai Wanapala (Raden Jaka Lambung/Raden Astracapa) [Brawijaya V]
9477/5 <9+8> Raden Jaka Lumuru ? (Raden Katawangan) [Brawijaya V]
9578/5 <9+8> Raden Jaka Doblang / Raden Yudasara (Raden Jaka Deplang) [Brawijaya V]
9679/5 <9+8> Raden Jaka Golok / Ki Ageng Jatinom Klaten (Raden Jaka Delog) [Brawijaya V]
9780/5 <9+8> Raden Jaka Bluwo / Syeh Sekardali (Syeh Sekardelimo) [Brawijaya V]
9881/5 <9+8> Raden Jaka Wayah / Syeh Bubukjanur (Raden Jaka Wajar) [Brawijaya V]
9982/5 <9+8> Raden Jaka Pandak / Syeh Kaliatu (Raden Jaka Wadag) [Brawijaya V]
10083/5 <9+8> Raden Jaka Bodho / Kyai Ageng Majastra (Ki Ageng Majasto) [Brawijaya V] 10184/5 <9+8> Raden Jaka Gapyuk / Kiyai Ageng Palesung [Brawijaya V]
10285/5 <9+8> Raden Jaka Sengara / Raden Pangayat (Ki Ageng Pring) [Brawijaya V]
10386/5 <9+8> Raden Jaka Supeno / Kiyai Ageng Tembayat [Brawijaya V]
10487/5 <9+8> Raden Jaka Pangawe / Raden Singunkara [Brawijaya V]
10588/5 <9+8> Raden Jaka Turas / Raden Hadangkoro [Brawijaya V]
10689/5 <9+8> Raden Jaka Suwanda / Raden Jaka Lelana [Brawijaya V]
10790/5 <9+8> Raden Jaka Suwarno / Raden Jaka Tanengkung (Raden Taningkingkung) [Brawijaya V]
10891/5 <9+8> Raden Jaka Ketul / Raden Lembaksiu (Adipati Bali) [Brawijaya V]
11092/5 <9+8> Raden Jaka Wirun / Raden Sarasidho (Raden Larasido) [Brawijaya V]
11193/5 <9+8> Raden Jaka Sumeno / Raden Kenitan (Raden Jaka Suseno/Raden Kaniten) [Brawijaya V]
11294/5 <9+8> Raden Jaka Besur / Raden Saragading (Raden Jaka Badu/Raden Suragading) [Brawijaya V]
11395/5 <9+8> Raden Jaka Gatot / Raden Balaruci (Raden Balacuri) [Brawijaya V]
11496/5 <9+8> Raden Jaka Raras / Raden Notosanto (Raden Lokananta) [Brawijaya V]
11597/5 <9+8> Raden Jaka Paniti / Raden Panurta [Brawijaya V]
11798/5 <9+8> Raden Jaka Sawunggaling / Raden Jaka Nara [Brawijaya V]
11999/5 <9+10> Raden Lembu Amisani [Brawijaya V]

6

1241/6 <28+?> Retno Palupi [Majapahit Girindrawardhana]
ganedigezh:
eured: <41> Raden Joko Suro [Joko Suro]
1252/6 <28+?> Raden Pamekas [Majapahit Girindrawardhana]
ganedigezh:
1333/6 <29+14> 3.4.2. Raden Kusen / Pangeran Pamalekaran (Arya Abdillah) [Brawijaya V]
titl: Adipati Terung, Adipati Terung / Bupati Teterung
Perang Majapahit dan Demak

Pada umumnya, perang antara Majapahit dan Demak dalam naskah-naskah babad dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu tahun 1478. Perang ini terkenal sebagai Perang Sudarma Wisuta, artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah.

Naskah babad dan serat tidak mengisahkan lagi adanya perang antara Majapahit dan Demak sesudah tahun 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan kronik Cina kuil Sam Po Kong, perang antara Demak melawan Majapahit terjadi lebih dari satu kali.

Dikisahkan, pada tahun 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing di Moa-lok-sa sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Yang dimaksud dengan bangsa asing ini adalah orang-orang Portugis di Malaka. Jin Bun pun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat istrinya adalah adik Jin Bun.

Perang ini juga terdapat dalam catatan Portugis. Pasukan Majapahit dipimpin seorang bupati muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Selain itu Majapahit juga menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik. Namun, serangan ini gagal di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan gelar Kyai Mutalim Jagalpati.

Sepeninggal Raden Patah alias Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin putranya yang bernama Pangeran Sabrang Lor sampai tahun 1521. Selanjutnya yang naik takhta adalah Sultan Trenggana adik Pangeran Sabrang Lor.

Menurut kronik Cina, pergantian takhta ini dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis. Perang antara Majapahit dan Demak pun meletus kembali. Perang terjadi tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit.

Perang terakhir terjadi tahun 1527. Pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus putra Sunan Ngudung, yang juga menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen adipati Terung ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus.

Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang menjadi pemimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Sultan Trenggana), yang bernama Toh A Bo.

Dari berita di atas diketahui adanya dua tokoh muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Sedangkan Raden Kusen adalah putra Arya Damar. Ibunya juga menjadi ibu Raden Patah. Dengan kata lain, Raden Kusen adalah paman Sultan Trenggana raja Demak saat itu.

Raden Kusen pernah belajar agama Islam pada Sunan Ampel, pemuka Wali Sanga. Dalam perang di atas, ia justru memihak Majapahit. Berita ini membuktikan kalau perang antara Demak melawan Majapahit bukanlah perang antara agama Islam melawan Hindu sebagaimana yang sering dibayangkan orang, melainkan perang yang dilandasi kepentingan politik antara Sultan Trenggana melawan Dyah Ranawijaya demi memperebutkan kekuasaan atas pulau Jawa.

Menurut kronik Cina, Pa-bu-ta-la meninggal dunia tahun 1527 sebelum pasukan Demak merebut istana. Peristiwa kekalahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya ini menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Majapahit. Para pengikutnya yang menolak kekuasaan Demak memilih pindah ke pulau Bali.
1354/6 <23> Pangeran Panembahan Agung [Majapahit Rajasa]
micher: Adipati Ponorogo II
1385/6 <24+19> 1. Ki Ageng Wonosobo /Syeh Ngabdullah [Brawijaya]
marvidigezh: Plobangan-Selomerto-Wonosobo
Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro

Sekitar tahun 1468 – 1478 M. ada seorang Prabu Kertabumi yang bertahta, raja Brawijaya V. kerajaan Majapahit yang menikah dengan seorang putri yang bernama Dewi Wandan Kuning. Atas pernikahan itu menurunkan putra bernama Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih yang menjadi putri Ki Ageng Jaka Tarub dan Nawangwulan. Pernikahan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih mempunyai tiga orang Putra yaitu :

  • 1.Ki Ageng Wanasaba
  • 2.Ki Ageng Getas Pendawa dan
  • 3.Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan

1. Ki Ageng Wanasaba, yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Ngabdullah merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang pertama / sulung, yang sekarang makamnya ada di daerah yang bernama kabupaten Wonosobo, tepatnya di desa Plobangan Selo merto[9].

Dalam masa hidupnya, Ki Ageng Wanasaba juga sebagai seorang Pemimpin yang yang hebat dan karismatik. Ki Ageng Wanasaba dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Dukuh, akan tetapi desa Plobangan lebih dikenal dengan Ki wanu / Ki wanusebo. Perbedaan nama tersebut disebabkan dialek daerah Wanasaba tersebut terpengaruh oleh dialek Banyumas.

Ki Ageng Wanasaba dipercaya dan diyakini sebagai waliyullah, yang telah melanglang buana keberbagai tempat dalam rangka mencari ilmu sekaligus menyiarkan agama Islam. Ki Ageng Wanasaba merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit dan merupakan putra Raden Bondan Kejawan, Lembu Peten , putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih, dan Nawangsih sendiri putri dari Ki jaka Tarub yang menikah dengan Dewi Nawang wulan ( epos Jaka Tarub ).

Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng Pandanaran. Pangeran Made Pandan mempunyai putra Ki Ageng Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar, Putri dan Ki juru Mertani.

Situs makam Ki Ageng Wanasaba saat ini dipugar, dikeramatkan dan dijaga dengan baik oleh warga sekitar. Lokasi situs ini sangat dihormati oleh masyarakat, karena KI Ageng Wanasaba merupakan tokoh penyebar agama islam dan sekaligus cikal bakal dari desa Plobangan Selomerto kabupaten wonosobo. Di sekitar makam Ki Ageng Wanasaba terdapat tiga makam kuno. Konon tiga makam itu juga merupakan pendahulu, seorang ulama yang sejaman dengan Ki Ageng Wanasaba.
1406/6 <35> Menak Simbar [Brawijaya V]
titl: Adipati Puger
1437/6 <36> Raden Wasisrowo [Brawijaya]
ganedigezh: Cloning 1 (Karena selisih generasi)
1458/6 <118> Ngabei Djanah/Mertasura I [Majapahit]
titl: (Adipati Banyumas Ke-dua (1583-1600))
1469/6 <68> Kyai Aden Gesikan I [Brawijaya V]
ganedigezh: Grade #2 Brawijaya V
13410/6 <24+19> Ki Ageng Getas Pendowo [Br.6.2] Ki Getas Pendhawa (Raden Dhepok) [Brawijaya V]
marvidigezh: 1445
13211/6 <21+29> Raden Kebo Kenanga / Ki Ageng Kebo Kenanga / Ki Ageng Pengging II [Singhawardhana]
ganedigezh: 1473
Asal-Usul Ki Ageng Pengging

Nama aslinya adalah Raden Kebo Kenanga. Kakaknya bernama Raden Kebo Kanigara. Keduanya adalah putra pasangan Andayaningrat dan Ratu Pembayun.

Kebo Kenanga Menjadi Ki Ageng Pengging II Serat Kanda mengisahkan, Andayaningrat membela Majapahit saat berperang melawan Demak. Ia tewas di tangan Sunan Ngudung panglima pasukan Demak yang juga anggota Walisanga. Kebo Kenanga tidak ikut berperang karena takut menghadapi gurunya. Padahal, Syekh Siti Jenar sendiri tidak mendukung serangan Demak.

Kebo Kenanga kemudian menjadi penguasa Pengging menggantikan ayahnya. Namun, ia tidak menjalani hidup mewah sebagaimana para bupati umumnya, melainkan hidup sebagai petani membaur dengan rakyatnya.

Menurut Serat Siti Jenar, Kebo Kenanga bertemu Syekh Siti Jenar sesudah menjadi penguasa Pengging. Dikisahkan keduanya berdiskusi tentang persamaan agama Hindu, Buddha, dan Islam. Akhirnya, dicapai kesepakatan kalau ketiga agama tersebut pada hakikatnya sama, yaitu sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, hanya tata cara peribadatannya saja yang berbeda.

[sunting] Keluarga Ki Ageng Pengging Ki Ageng Kebo Kenanga Pengging menikah dengan kakak perempuan Ki Ageng Butuh (murid Syekh Siti Jenar pula). Dari perkawinan itu lahir seorang putra bernama Mas Karebet.

Saat Karebet dilahirkan, Ki Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang yang didalangi kakak seperguruannya, yaitu Ki Ageng Tingkir. Sepulang mendalang, Ki Tingkir meninggal dunia. Kelak, sepeninggal Ki Ageng Pengging dan istrinya, Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir), sehingga setelah dewasa, Karebet pun dijuluki sebagai Jaka Tingkir dan mendirikan Kesultanan Pajang. Pendirian kasultanan Pajang adalah sebagai usaha Jaka Tingkir, yang telah berhasil memperistri putri Sultan Trenggana, untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Demak menuju pedalaman Jawa. Hal inilah yang memunculkan teori berpindahnya corak kerajaan maritim ke agraris. Secara politis juga untuk menjauhkan diri dari kemungkinan sengketa dengan keturunan Sekar Seda Lepen yang bernama Arya Penangsang.

[sunting] Kematian Ki Ageng Pengging Menurut Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Pengging dicurigai Raden Patah hendak memberontak karena tidak mau menghadap ke Demak. Patih Wanapala (versi Serat Siti Jenar menyebut Patih Wanasalam) dikirim ke Pengging untuk menyampaikan teguran.

Waktu setahun berlalu dan Ki Pengging tetap menolak menghadap. Apalagi ia gencar mendakwahkan ajaran Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat oleh pemerintah Demak. Maka, Sunan Kudus pun dikirim untuk menghukum mati Ki Ageng Pengging.

Setelah melalui perjalanan panjang, rombongan Sunan Kudus akhirnya tiba di Pengging. Ki Pengging merelakan kematiannya daripada harus menghadap Raden Patah. Akhirnya, ia pun meninggal dunia setelah titik kelemahannya, yaitu ujung siku, ditusuk keris Sunan Kudus.

Menurut Serat Siti Jenar, Ki Ageng Pengging Kebo Kenongo meninggal karena kemauannya sendiri. Sebelumnya, ia dikisahkan berhasil menyadarkan Sunan Kudus tentang ajaran Syekh Siti Jenar yang sebenarnya. Akhirnya, Ki Ageng Pengging meninggal dunia dengan caranya sendiri, bukan karena ditusuk Sunan Kudus.

Pada intinya, kematian Ki Ageng Pengging disebabkan karena penolakannya terhadap pemerintahan Demak. Ia adalah murid terbaik Syekh Siti Jenar, yaitu seorang wali yang mengajarkan kesederajatan manusia dan menolak basa-basi duniawi.
13012/6 <28+27> Girindrawardhana Dyah Ranawijaya / Sri Wilwatikta (Brawijaya VI) [Singhawardhana]
titl: 1478 - 1498, Prabu Majapahit XII bergelar Prabhu Natha Girindrawardhana (Brawijaya VI)
marvidigezh: 1527
Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah raja Kerajaan Majapahit yang memerintah sekitar tahun 1486. Tidak diketahui dengan pasti kapan ia naik takhta dan kapan pemerintahannya berakhir. Pendapat umum menyebutkan, ia sering dianggap sebagai raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Kesultanan Demak pada tahun 1527.

Silsilah Ranawijaya Girindrawardhana Dyah Ranawijaya diperkirakan sebagai putra Suraprabawa Sang Singawikramawardhana, raja Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1466-1474. Dugaan tersebut berdasarkan atas gelar abhiseka yang dipakai oleh Ranawijaya dan Suraprabhawa yang masing-masing mengandung kata Girindra dan Giripati. Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, yaitu "raja gunung".

Pada tahun 1486 Ranawijaya mengeluarkan prasasti Jiyu tentang pengesahan anugerah kepada Sri Brahmaraja Ganggadhara berupa tanah Trailokyapuri. Pengesahan ini dilakukan bersamaan dengan upacara Sraddha untuk memperingati 12 tahun meninggalnya Bhatara Mokteng Dahanapura, atau "Baginda yang meninggal di Daha". Tokoh ini diyakini para sejarawan sebagai orang tua Ranawijaya.

Suraprabhawa dalam Pararaton disebut dengan nama Bhre Pandansalas yang pada tahun 1468 melarikan diri setelah dikalahkan oleh Bhre Kertabumi dan ketiga kakaknya. Jika berita tersebut dipadukan dengan naskah prasasti Jiyu, maka dapat diperoleh gambaran bahwa Suraprabawa kemudian tinggal di Daha setelah terusir dari Majapahit.

Setelah meninggal, Suraprabawa disebut dengan gelar anumerta Bhatara Mokteng Dahanapura. Hasil penyelidikan prasasti Jiyu menemukan tahun kematiannya adalah 1474. Dengan demikian, Dyah Ranawijaya diperkirakan naik tahta juga pada tahun 1474 tersebut.

Prasasti Jiyu menyebut gelar Dyah Ranawijaya adalah Sri Wilwatikta Jenggala Kediri, yang artinya penguasa Majapahit, Jenggala, dan Kediri. Ini membuktikan bahwa pada tahun 1486 tersebut kekuasaan Bhre Kertabhumi di Majapahit telah jatuh pula ke tangan Ranawijaya.

Dalam prasasti Jiyu juga ditemukan adanya nama Bhre Keling Girindrawardhana Dyah Wijayakusuma yang diperkirakan sebagai saudara Dyah Ranawijaya.

Identifikasi dengan Brawijaya Brawijaya adalah nama raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Nama ini sangat populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah yang kuat, misalnya prasasti.

Oleh karena itu perlu diselidiki dari mana asalnya para pengarang babad dan serat memperoleh nama tersebut. Nama Brawijaya diyakini berasal dari kata Bhra Wijaya, yang merupakan singkatan dari Bhatara Wijaya.

Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 ada seorang raja bernama Batara Vigiaya yang bertakhta di Dayo, namun pemerintahannya dikendalikan oleh Pate Amdura. Batara Vigiaya merupakan ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, sedangkan Dayo bermakna Daha. Dari prasasti Jiyu diketahui bahwa Daha diperintah oleh Dyah Ranawijaya pada tahun 1486. Dengan kata lain, Brawijaya alias Bhatara Wijaya adalah nama lain dari Dyah Ranawijaya.

Identifikasi Brawijaya raja terakhir Majapahit dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga diduga sebagai raja Majapahit. Kerajaan Dayo adalah ejaan Portugis untuk Daha, yang saat itu menjadi ibu kota Majapahit. Menurut Babad Sengkala pada tahun 1527 Daha akhirnya dikalahkan oleh Kesultanan Demak.

Ingatan masyarakat Jawa tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha tahun 1527 bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhra Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “ditempatkan” sebagai Brawijaya yang pemerintahannya berakhir tahun 1478.

Akibatnya pula, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre Kertabhumi, yaitu raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebut bahwa Bhre Kertabhumi juga bergelar Brawijaya.

Lebih lanjut tentang identifikasi Brawijaya, bisa dilihat dalam artikel Bhre Kertabhumi dan Kertawijaya.

Pengangkatan Ranawijaya menurut Kronik Cina Pemerintahan Bhre Kertabhumi tidak meninggalkan bukti prasasti, juga tidak diceritakan secara tegas dalam Pararaton. Justru dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong ditemukan adanya raja Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi.

Pada tahun 1478 Kung-ta-bu-mi dikalahkan putranya sendiri bernama Jin Bun, yang lahir dari selir Cina. Jin Bun ini identik dengan Panembahan Jimbun alias Raden Patah pendiri Kesultanan Demak. Setelah itu, Majapahit menjadi bawahan Demak. Jin Bun mengangkat seorang Cina muslim sebagai bupati bernama Nyoo Lay Wa.

Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa mati akibat unjuk rasa kaum pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat bupati baru di Majapahit, seorang pribumi bernama Pa-bu-ta-la yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.

Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Tidak diketahui dengan pasti dari mana sumber sejarah yang digunakan oleh penulis kronik Cina tersebut.

Hubungan Ranawijaya dengan Bhre Kertabhumi Menurut kronik Cina di atas, Ranawijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai raja bawahan Demak.

Pendapat lain mengatakan, Ranawijaya menjadi raja Majapahit atas usahanya sendiri, yaitu dengan cara mengalahkan Bhre Kertabhumi tahun 1478, demi membalas kekalahan ayahnya, yaitu Suraprabhawa. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Petak yang menyebutkan kalau keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit.
12213/6 <22+23> Pangeran Sabrang Lor / Dipati Unus (Raden Surya) [Brawijaya V]
titl: 1518, Sultan Demak II
marvidigezh: 1521
12114/6 <22+23> 3.4.1.1. Pangeran Hadipati Trenggono ? ((Sultan Trenggono)) [Raden Trenggono]
ganedigezh: 1521
titl: < 1546, Demak, Sultan Demak III bergelar Sultan Alam Akbar III
marvidigezh: 1548
12015/6 <21+29> Ki Ageng Kebo Kanigoro [Kebo Kanigoro]
Raden Kebo Kanigara' adalah putra pasangan Andayaningrat dan Ratu Pembayun. Ayah Raden kebo Kanigara adalah Jaka Sengara Jumeneng bupati Pengging nama gelar Pangeran Handayaningrat Pengging / Andayaningrat atau Ki Ageng Pengging I (versi lain menyebutnya Jayaningrat). Kedua putranya menempuh jalan hidup yang berbeda. [[Kebo Kanigara yang setia pada agama lama meninggal saat bertapa di puncak Gunung Merapi]]. [[Sedangkan Kebo Kenanga masuk Islam di bawah bimbingan Syekh Siti Jenar.]]
12316/6 <28> Retno Bukasri [Majapahit Girindrawardhana] 12617/6 <30> Adipati Wirohutomo IV / R Jaka Surawin / Adipati Wirasaba [Srie Pamekas - Nata / Raja Pajajaran]
12718/6 <28+?> Raden Baribin ? (Arya Beribin, Majapahit Giriwardhana) [?]
Hubungan Perbesanan Generasi Pertama :

Arya Baribin, berbesan dengan a). Mawlana Ibrahim Asmara, karena Raja Pendhita menikah dengan R.A. Maduretna; b). Ki Ageng Tarup, karena Nawangsari menikah dengan Susunan Jakandara.

Sumber : Buku Walisanga Tida Pernah Ada - Menyingap Misteri Para Wali dan Perang Demak Majapahit : Penantar Prof DR H. Aminuddin, MS.) cetakan I / Maret 2006, penerbit : P Books Penulis Syamsyhuda ; halaman 40
12819/6 <23> Kanjeng Gusti Pembajoen [Majapahit Rajasa]
12920/6 <28+26> Singawardhana Dyah Wijayakusuma / Bhre Pamotan II [Majapahit Rajasa]
13121/6 <22+23> 3.4.1.2. Ratu Pambayun / Nyai Pembaya [Brawijaya V] 13622/6 <22+24> Pangeran Sekar Seda Lepen / Raden Kikin [Raden Patah]
13723/6 <22> R. Soerjo [?]
13924/6 <24+19> 3. Nyai Ageng Ngerang I/ Nyai Siti Rochmah (Dewi Roro Kasihan) [Brawijaya V]
== NYAI AGENG NGERANG ==

Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro


A. ASAL - USUL NYAI AGENG NGERANG

Nyai Ageng Ngerang mempunyai nama asli Siti Rohmah Roro Kasihan[1]. Walaupun disisi lain, ada yang mengatakan bahwa nama beliau banyak sekali, bahkan sampai 24 nama, akan tetapi itu hanya nama samaran ketika beliau mengadakan peperangan dengan bertujuan untuk berdakwah, menyebarkan agama Islam, Supaya tidak diketahui jatidiri beliau sebenarnya. Karena kalau nama asli beliau yang dipergunakan, justru akan menghambat misi perjuangan dakwah beliau.

Beliau adalah merupakan seorang waliyullah yang banyak disegani banyak orang, karena disamping beliau mempunyai keturunan bangsawan / darah biru dari Raja Brawijaya V, juga beliau seorang Waliyullah yang gigih dan berani untuk menegakkan kebenaran serta Penyayang dan Melindungi kaum yang lemah dan teraniaya.

Beliau senang sekali terhadap orang yang kehidupanya sederhana serta suka membantu orang yang mengalami kesusahan dalam menghadapi problema kehidupan yang tak kunjung sirna, selama mereka mau bertawasul kepada Beliau. Sesuai dengan namanya Siti Rahmah Roro Kasihan adalah seseorang yang suka menaruh belas kasihan / iba dan memberi kasih sayang terhadap kaum muslimin yang ingin mendoakan dan sekaligus membutuhkan bantuan beliau ( Tawasul kepada beliau ) untuk meminta kepada Allah SWT.

Beliau mempunyai pandangan yang jauh dan luas dalam hidup dan kehidupan manusia secara hakiki. Sebagai seorang sufi yang tidak senang dengan kemewahan dunia belaka, maka hidupnya diabdikan dan tawakal kepada Allah untuk berjuang menegakkan agama islam dengan berdakwah dari tempat satu ketempat yang lain, yang beliau anggap tepat sasaranya.

Menurut apa yang dituturkan dari berbagai sumber dan catatan – catatan bersejarah, bahwa beliau berasal dari kerajaan majapahit tepatnya pada masa pemerintahan Raja Brawijaya V, Prabu Kertabumi, yang telah menurunkan Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Raden Bondan kejawan mempunyai istri Dewi Nawangsih. Dewi Nawangsih merupakan Putri dari Nawang Wulan dan Nawang Wulan adalah istri dari Ki Jaka Tarub, Kidang Telangkas[2].

Raden Bondan Kejawan menurunkan tiga putra, yaitu Ki Ageng Wanasaba, Ki Ageng Getas Pandawa dan Putri yang bungsu bernama Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan[3].

Adapun sejarah kedatangan beliau menurut catatan ahli tarikh. Pada waktu itu beliau hidup dalam kerajaan yang syarat dengan banyak aturan duniawi, serta terbelenggunya kegiatan penyebaran agama islam, oleh karena itu, beliau melakukan melanglang buana dalam rangka misi dakwah dengan menjauhkan diri dari kerajaan tesebut untuk benar – benar dapat menemukan kehidupan yang hakiki dan diridhoi ilahi robbi. Dengan uzlah (mengasingkan diri) dan berdakwah agama islam, dengan sistim berpindah tempat, dari tempat satu ketempat yang lain, termasuk pernah singgah ditanah muria, dan akhirnya beliau mendapatkan wilayah yang layak dan tepat untuk berdakwah yaitu di Pati kidul, tepatnya di dusun Ngerang Tambakromo Pati.

Dalam cerita masyarakat, bahwa pada saat berkumpul dan musyawarah beserta para saudara, Auliya dan penggede pada saat itu, untuk menentukan langkah selanjutnya dalam misi perjuangan dakwah. Beliau kadang diremehkan, karena seorang perempuan. “Perempuan identik dirumah dan tidak bisa berbuat apa-apa, bagian perempuan hanya sedikit (setengah bagian dari laki-laki), lain halnya dengan bagian laki-laki ”, karena langkah seorang perempuan itu sempit dan tidak bisa mendapatkan wilayah kekuasaan yang begitu luas. Oleh karenya menurut beberapa versi, beliau langsung membakar Slendang Kemben yang menjadi warisan dari nenek beliau Nawang Wulan dan Ki Jaka Tarub. Dan beliau berkata, “Langes dari bakaran slendang ini yang dibawa angin, dimanapun jatuhnya, dan tempat yang kejatuhan langes tersebut akan menjadi Bumi Ngerang. Ada juga yang mengatakan bahwa slendang beliau di hamtamkan keatas udara dan keluar percikan api dan percikan api tersebut mengeluarkan sisa yang dinamakan langes.

Menurut versi lain bahwa beliau membuat perapian dengan membakar sisa batang padi, kemudian langes dari perapian tersebut ditiup angin dari hembusan Slendang Kemben beliau. Kemudian langes tersebut dimanapun jatuhnya akan membentuk bumi Ngerang.

Dengan melihat kejadian tersebut, konon saudara-saudara beliau juga tidak mau kalah dengan apa yang telah dilakukakanya, maka tidak berfikir banyak, saudara-saudara beliau kemudian membakar kaosnya. Dimanapun langes bakaran dari kaos tersebut jatuh, maka akan membentuk bumi / tanah muria. Dengan demikian itu bumi Ngerang dan bumi muria terdapat dimana-mana. Dan bumi tersebut tidak ada yang kuat menempatinya ( banyak problem dan masalah kehidupan yang dihadapinya ), kecuali yang memanfaatkan adalah anak dan cucu beliau.

Didalam perjalanan perjuangan dakwah Nyai Ageng Ngerang sangat penuh dengan cobaan, rintangan dan halangan. Tapi itu semua, tidak membuat beliau jera dan putus asa, karena perjuangan untuk membumikan syariat agama Islam, syarat dengan halangan dan rintangan. Perjuangan beliau berakhir didusun Ngerang Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati Jawa Tengah. Akhirnya beliau membangun masjid dan tempat tinggal sebagai wadah untuk istiqomah dalam berdakwah di dusun Ngerang tersebut, tepatnya di muludan, sebelah utara makam beliau.

Makam Beliau ada di dusun Ngerang kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, tanah pemakaman beliau disebut dengan istilah sentono ( tanah kerajaan ), karena dahulu ditempat itu merupakan sebuah kerajaan dimasa hidup beliau. Makam beliau sangat dikeramatkan, dihormati dan dirawat serta dijaga oleh warga dusun Ngerang Tambakromo Pati dengan baik, karena beliau selain sebagai pejuang islam yang tangguh, juga beliau merupakan cikal bakal dusun Ngerang Tambakromo.

B. SILSILAH KETURUNAN

Menurut beberapa catatan dan keterangan dari berbagai sumber, termasuk dari Keraton Surakarta Hadiningrat, bahwa Nyai Ageng Ngerang mempunyai nama asli Siti Rohmah Roro Kasihan, setelah menikah dengan Ki Ageng ngerang, nama beliau berubah menjadi Nyai Ageng Ngerang. Beliau mempunyai tali lahir maupun batin dengan sultan – sultan dan guru besar agama yang bersambung pada Raja Brawijaya V, raja majapahit Prabu Kertabumi, Beliau diberikan nama dengan sebutan Nyai Ageng Ngerang dan makamnya ada didusun Ngerang Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, ada beberapa versi yang mengatakan, beliau senang membantu orang yang sedang di ganggu demit dan termasuk didusun Ngerang juga banyak demit yang pating sliwerang, kemudian dikalahkan dan diusir oleh beliau dari dusun itu, maka oleh karena itu beliau disebut Nyai Ageng Ngerang.

Dilihat dari silsilah beliau kebawah dan seterusnya. Nyai Ageng Ngerang yang makamnya di Ngerang Tambakromo Pati adalah Nyai Ageng Ngerang, Siti rohmah Roro Kasihan. Beliau di peristri Ki Ageng Ngerang I.Ki Ageng Ngerang I Putra dari Syaihk Maulana Malik Ibrahim.[4] Dan atas perkawinan Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang I, beliau mempunyai dua orang Putra, Pertama adalah seorang putri dan belum diketahui dan dijelaskan namanya didalam buku – buku maupun sumber lain. Putri Beliau yang pertama diperistri oleh Ki Ageng Selo[5]. Dan Ki Ageng Selo adalah putra dari Ki Ageng Getas Pendawa. Putra yang kedua beliau adalah Ki Ageng Ngerang II yang disebut Ki Ageng Pati, makamnya sekarang berada di Ngerang Pakuan Juana,

Ki Ageng Ngerang II mempunyai empat putra yaitu Ki Ageng ngerang III, Ki Ageng Ngerang IV, Ki Ageng Ngerang V dan Pangeran Kalijenar.

Sedangkan Ki Ageng Ngerang III, Makamnya sekarang ada di Laweyan solo Jawa Tengah[6]. Ki Ageng Ngerang III ini yang telah menurunkan Ki Ageng Penjawi. Ki Ageng Penjawi, orang yang pernah menjadi Adipati Kadipaten pati setelah gugurnya Arya Penangsang, Arya Penangsang adalah adipati Jipang Panolan dan Arya penagnsang adalah putra Pangeran Sedalepen.

Ki Ageng Penjawi sangat berjasa dalam menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh laskar Soreng yang dpimpin oleh Arya Penangsang, untuk membunuh semua keturunan Sultan Trenggono, karena iri hati. Sedangkan Ki Ageng Penjawi sebagai panglima perang bersama Danang Sutawijaya, Ki Juru Mertani, Ki Pemanahan ( tiga Serangkai ) akhirnya dapat mengalahkan Arya Penangsang beserta bala tentaranya.

Dari silsilah Nyai Ageng Ngerang keatas, beliau menjadi Putri bungsu Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng, atas pernikahanya dengan Dewi Nawangsih. Dan Raden Bondan Kejawan sendiri merupakan Putra dari Raja Brawijaya V, Raja majapahit, Prabu Kertabumi. Raja Brawijaya bertahta pada tahun 1468 – 1478 M[7].

Ayah Nyai Ageng Ngerang masih saudara Raden Patah. Raden Patah adalah orang yang pertama kali menjadi Sultan pada Kerajaan Islam pertama di pulau jawa, yaitu Kasultanan Demak Bintoro. Kerajaan islam pertama dijawa yang didirikan oleh Raden Patah dan Raden Patah bergelar “Akbar Alfatt” Raden Patah juga Putra Raja Brawijaya V dengan ibu Syarifah Siti Jaenab adik kandung Sunan Ampel/Raden Rahmat keturunan Champa, daerah yang sekarang adalah perbatasan Kamboja dan Vietnam.

Hubungan Nyai Ageng Ngerang dengan Jaka Tarub, Kidang Telangkas. Jaka tarub mempunyai istri bernama Nawang Wulan. Nawang Wulan dan Ki Jaka Tarub mempunyai Putri Nawangsih dan Nawangsih diperistri Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dan Nawangsih, telah menurunkan tiga putra, pertama Syaikh Ngabdullah yang sekarang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Wanasaba, dan putra kedua adalah Syaikh Abdullah yang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Getas Pandawa dan yang bungsu adalah Siti Rohmah Roro Kasihan yang terkenal dengan sebutan Nyai Ageng Ngerang[8].

Hubungan Nyai Ageng Ngerang dengan Sunan Muria, bahwa Sunan Muria merupakan saudara Nyai Ageng Ngerang yang kesekian kalinya. Dengan melihat beberapa versi tentang silsilah orang tua Sunan muria. Versi pertama mengatakan bahwa Sunan Muria anak Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, padahal anaknya sunan Kalijaga yang bernama Raden Ayu Penengah menjadi istri Ki Ageng Ngerang III, oleh karena itu dapat tarik kesimpulan bahwa Sunan Muria bukan menantu Nyai Ageng Ngerang, seperti yang disebutkan dalam cerita masyarakat, bahwa Dewi Roroyono menjadi Putri Nyai Ageng Ngerang dan diperistri Sunan Muria. Sunan Muria merupakan keponakan Nyai Ageng Ngerang dari Sunan Kalijaga.

C. SAUDARA – SAUDARA BELIAU

Seperti yang disebutkan diatas. Diceritakan bahwa pada sekitar tahun 1468 – 1478 M. ada seorang Prabu Kertabumi yang bertahta, raja Brawijaya V. kerajaan Majapahit yang menikah dengan seorang putri yang bernama Dewi Wandan Kuning. Atas pernikahan itu menurunkan putra bernama Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih yang menjadi putri Ki Ageng Jaka Tarub dan Nawangwulan. Pernikahan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih mempunyai tiga orang Putra yaitu :

  • 1.Ki Ageng Wanasaba
  • 2.Ki Ageng Getas Pendawa dan
  • 3.Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan

1. Ki Ageng Wanasaba, yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Ngabdullah merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang pertama / sulung, yang sekarang makamnya ada di daerah yang bernama kabupaten Wonosobo, tepatnya di desa Plobangan Selo merto[9].

Dalam masa hidupnya, Ki Ageng Wanasaba juga sebagai seorang Pemimpin yang yang hebat dan karismatik. Ki Ageng Wanasaba dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Dukuh, akan tetapi desa Plobangan lebih dikenal dengan Ki wanu / Ki wanusebo. Perbedaan nama tersebut disebabkan dialek daerah Wanasaba tersebut terpengaruh oleh dialek Banyumas.

Ki Ageng Wanasaba dipercaya dan diyakini sebagai waliyullah, yang telah melanglang buana keberbagai tempat dalam rangka mencari ilmu sekaligus menyiarkan agama Islam. Ki Ageng Wanasaba merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit dan merupakan putra Raden Bondan Kejawan, Lembu Peten , putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih, dan Nawangsih sendiri putri dari Ki jaka Tarub yang menikah dengan Dewi Nawang wulan ( epos Jaka Tarub ).

Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng Pandanaran. Pangeran Made Pandan mempunyai putra Ki Ageng Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar, Putri dan Ki juru Mertani.

Situs makam Ki Ageng Wanasaba saat ini dipugar, dikeramatkan dan dijaga dengan baik oleh warga sekitar. Lokasi situs ini sangat dihormati oleh masyarakat, karena KI Ageng Wanasaba merupakan tokoh penyebar agama islam dan sekaligus cikal bakal dari desa Plobangan Selomerto kabupaten wonosobo. Di sekitar makam Ki Ageng Wanasaba terdapat tiga makam kuno. Konon tiga makam itu juga merupakan pendahulu, seorang ulama yang sejaman dengan Ki Ageng Wanasaba.

2. Ki Ageng Getas Pendawa, yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Abdullah atau yang disebut Raden Depok adalah saudara kandung beliau, Ki Ageng Getas Pendawa merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang kedua. Ki Ageng Getas Pendawa juga seorang yang hebat, berwibawa dan karismatik serta sangat sederhana dalam hidup dan kehidupan manusia.

Beliau juga seorang pemimpin yang tegas dan berwibawa, oleh karena itu beliau disebut Ki Ageng Getas Pendawa. Beliau sangat tangguh dan konon sangat kuat dalam riyadhoh / tirakat, mengolah batin untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan harapan bisa menenangkan diri dan dapat menyebarkan agama islam dengan ikhlas, tulus dan berhasil. Makam beliau juga dikeramatkan oleh warga sekitar. Makam Ki Ageng Getas Pandawa ada di desa Kuripan Purwodadi, Grobogan.

Ki Ageng Getas Pendawa mempunyai putra yang bernama Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Ki Ageng Purna. Ki Ageng Kare, Ki Ageng wanglu, Ki Ageng Bokong dan Ki Ageng Adibaya. Sedangkan Ki Ageng Sela mempunyai Putra KI Ageng Enis dan Ki Ageng Enis menurunkan putra yang bernama Ki Ageng Pemanahan.
14125/6 <36> Pangeran Panggung Jaka Suwirya (Wasisrowo) [Brawijaya]
14226/6 <21+29> Raden Kebo Amiluhur [Raden Trenggono]
14427/6 <22+24> Ratu Ayu Nyawa / Ratu Ayu Wulan [Brawijaya V] 14728/6 <47+34> Harya Leka (Sumenep) [Brawijaya V]
14829/6 <119> Raden Wonoboyo / Raden Jaka (Ki Ageng Mangir Wonoboyo) [Brawijaya V] 14930/6 <79> Pangeran Sutowijoyo [Brawijaya V]
15031/6 <22+29!> Ario Menak Senojo [Brawijaya V] 15132/6 <23+28> Nyi Ageng Kaliwungu [Brawijaya V] 15233/6 <22> Ψ 1st Decendant of Sultan Demak [Demak]
15334/6 <22+23> Raden Alit / Pangeran Sekar [Patah]
15435/6 <100+39> Nyai Ageng Mus [Mus] 15536/6 <100> Raden Suradita [Suradita] 15637/6 <100+40> Raden Senopati Sindukalang [Sindukalang]
15738/6 <100+40> Raden Jatikusuma [Jatikusuma]
15839/6 <100> Raden Jayakusuma [Jayakusuma]
15940/6 <22> Raden Kandhuruwan / Adipati Sumenep [Kesultanan Demak]

7

1601/7 <134> Ki Ageng Selo [Br.6.2.1] (Bagus Sogom) [Brawijaya V]
1622/7 <121> 3.4.1.1.2. Ratu Mas Cempaka [Demak]
DIPUTUS JALUR AYAHNYA : 26355
1633/7 <125> Ki Ageng Kandereh [Kandereh]
ganedigezh:
1644/7 <125> Ki Ageng Bandung Wetan [Bandung Wetan]
ganedigezh:
1655/7 <125> Nyai Ageng Getol [Getol]
ganedigezh:
1716/7 <121> Ratu Mas Pambayun [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 1 = Putera ke 2 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro
eured: <55> Kyai Ageng Lang / Pangeran Langgar [Raden Trenggono]
eured: <55!> Kyai Ageng Lang / Pangeran Langgar [Raden Trenggono]
1807/7 <136> Pangeran Arya Mataram-Jipang (Prince) [Demak]
titl: Jipang _ akhir Kerajaan Demak
ARYA MATARAM

Arya Mataram adalah adik tiri Arya Penangsang Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. ''Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.'' Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.

Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.

Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.
1818/7 <135> Pangeran Adipati Anom [Majapahit]
micher: Adipati Ponorogo III
1889/7 <140> Menak Sumende [Brawijaya V]
titl: Adipati Blambangan
19110/7 <138> Ki Ageng Pandanaran [Br.6.1.1] (Pangeran Made Pandan) [Brawijaya VI]
ganedigezh: Versi 1 : http://www.jatiningjati.com/2009/08/akan-banyak-orang-yang-tidak-percaya.html Versi 2 : http://kincho-ngerang.blogspot.com/ Versi 3 : http://kiagengmandaraka.blogspot.com/2011/06/saya-pengagum-beliau.html
eured: <199!> 3.4.1.1.4. Ratu Mas Mantingan [Demak]
19511/7 <143> Raden Wasisrowo [Brawijaya]
ganedigezh: Cloning 2 (Beda generasi)
20812/7 <145> Ngabei Kalidethuk/Mertasura II [Majapahit]
titl: (Adipati Banyumas Ke-tiga (1601-1620))
21013/7 <146> Kyai Aden Gesikan II [Brawijaya V]
ganedigezh: Grade #3 Brawijaya V
17414/7 <121> 5. Retna Kencana / Ratu Mas Kalinyamat [Raden Trenggono]
ganedigezh: 1514, Demak Bintoro
eured: <56> Pangeran Kalinyamat / Pangeran Toyib / Pangeran Tanduran / Tjie Bin Tang [Sultan Mughayat Syah] a. a. 1549
titl: 10 Ebrel 1527 - 1536, Jepara, Kanjeng Ratu Kalinyamat
marvidigezh: 1579, Jepara, Dimakamkan di dekat makam Pangeran Kalinyamat di desa Mantingan.
21915/7 <144+46> Pangeran Kesatriyan [Gunung Jati]
ganedigezh: 1516
21816/7 <144+46> 2. Panembahan Losari [Cirebon]
ganedigezh: 1518
16717/7 <121+?> 3.4.1.1.3. Sunan Prawoto I [Demak]
titl: 1546 - 1549, Demak
marvidigezh: 1549, Demak
Sultan ke IV ( terakhir ) dari Kerajaan Islam Demak DIPUTUS PUTRANYA :2655
17218/7 <121+?> 3. Sunan Prawoto / Panembahan Prawoto I (Sultan Mukmin) [Brawijaya V]
eured:
titl: 1546 - 1549, Demak Bintoro, Sultan Demak IV
marvidigezh: 1549, Demak Bintoro
Sunan Prawoto adalah raja keempat Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1546-1549. Nama aslinya ialah Raden Mukmin. Ia lebih cenderung sebagai seorang ahli agama dari pada ahli politik.

Raden Mukmin Semasa Muda Naskah babad dan serat menyebut Raden Mukmin adalah putra sulung Sultan Trenggana. Ia lahir saat ayahnya masih sangat muda dan belum menjadi raja.

Pada tahun 1521 Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia tanpa keturunan. Kedua adiknya beraing memperebutkan takhta, yaitu Raden Trenggana dan Raden Kikin. Raden Trenggana adalah adik kandung Pangeran Sabrang Lor, sama-sama lahir dari permaisuri Raden Patah, sedangkan Raden Kikin meskipun lebih tua usianya, tapi lahir dari selir, yaitu putri bupati Jipang.

Dalam persaingan ini tentu saja Raden Mukmin memihak ayahnya. Ia mengirim pembantunya yang bernama Ki Surayata untuk membunuh Raden Kikin sepulang Salat Jumat. Raden Kikin tewas di tepi sungai, sedangkan para pengawalnya sempat membunuh Ki Surayata.

Sejak saat itu Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya "bunga yang gugur di sungai". Pangeran Sekar Seda Lepen meninggalkan dua orang putra dari dua orang istri, yang bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram.

[sunting] Pemerintahan Sunan Prawoto Sultan Trenggana memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546. Sepeninggalnya, Raden Mukmin selaku putra tertua naik takhta. Ambisinya sangat besar untuk melanjutkan usaha ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun keterampilannya dalam berpolitik sangat rendah. Ia lebih suka hidup sebagai ulama suci dari pada sebagai raja.

Pusat pemerintahan Raden Mukmin dipindahkan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.

Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto. Pada tahun 1548 Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan Prawoto juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto.

Pada kenyataannya, cita-cita Sunan Prawoto tidak pernah terlaksana. Ia lebih sibuk sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah bawahan, misalnya Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik berkembang bebas sedangkan Demak tidak mampu menghalanginya.

[sunting] Kematian Sunan Prawoto Selain Sunan Prawoto muncul dua orang lagi menjadi tokoh kuat sepeninggal Sultan Trenggana, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang, dan Hadiwijaya bupati Pajang. Masing-masing adalah keponakan dan menantu Sultan Trenggana.

Arya Penangsang adalah putra Pangeran Sekar Seda ing Lepen yang mendapat dukungan dari gurunya, yaitu Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak. Pada tahun 1549 ia mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya.

Menurut Babad Tanah Jawi, pada suatu malam Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto. Sunan mengakui kesalahannya telah membunuh Pangeran Seda Lepen. Ia rela dihukum mati asalkan keluarganya diampuni.

Rangkud setuju. Ia lalu menikam dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus. Ternyata istri Sunan sedang berlindung di balik punggungnya. Akibatnya ia pun tewas pula. Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan sempat membunuh Rangkud dengan sisa-sisa tenaganya.

Sunan Prawoto tewas meninggalkan seorang putra yang masih kecil bernama Arya Pangiri, yang kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah dewasa, Arya Pangiri menjadi menantu Sultan Hadiwijaya raja Pajang, dan diangkat sebagai bupati Demak.

Pada tahun itu pula, 1549 Aryo Penangsang berhasil dibunuh oleh Danag Sutawijaya atas siasat cerdas Ki Juru Martani.

[sunting] Raden Mukmin dalam Kronik Cina Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong menyebut Raden Mukmin dengan nama Muk Ming. Pada tahun 1529 ia menggantikan Kin San sebagai kepala galangan kapal di Semarang. Kin San adalah adik Jin Bun (alias Raden Kusen adik Raden Patah).

Muk Ming bekerja keras dibantu masyarakat Cina baik yang muslim ataupun non muslim menyelesaikan 1.000 kapal besar yang masing-masing dapat memuat 400 orang prajurit. Pembangunan kapal-kapal perang tersebut untuk kepentingan angkatan laut ayahnya, yaitu Tung-ka-lo (Sultan Trenggana) yang berniat merebut Maluku.

Belum sempat Tung-ka-lo merebut Maluku, ia lebih dulu tewas saat menyerang Panarukan tahun 1546. Muk Ming pun naik takhta namun dimusuhi sepupunya yang menjadi bupati Ji-pang (alias Arya Penangsang).

Perang saudara terjadi. Kota Demak dihancurkan bupati Ji-pang. Muk Ming pindah ke Semarang tapi terus dikejar musuh. Akhirnya ia tewas di kota itu. Galangan kapal hancur terbakar pula. Yang tersisa hanya masjid dan kelenteng saja.
17719/7 <121> 9. Pangeran Timur / Pangeran Mas Kumambang (Rangga Jumena) [Raden Trenggono]
titl: Panembahan Mas -
micher: 18 Gouere 1568 - 1586, Bupati Madiun Ke 1, Hari jadi Kabupaten Madiun
== Pangeran Timoer ==


Kegigihan dan Kebijakan

Pangeran Timoer yang kemudian hari diangkat menjadi Bupati Purabaya pada tanggal 18 Juli 1568 dan mengakhiri pemerintahan Pengawasan Kasultanan Demak di Purabaya di bawah Kyai Rekso Gati (SaGaten), kemudian membuka dan mewarnai Sejarah Awal Kabupaten Madiun, sebagai Bupati yang Pertama (ke-1) Madiun dengan masa jabatan antara tahun 1568 sampai 1586.

Beberapa tahun setelah diangkat menjadi Bupati Purabaya, sekitar tahun 1575, Pangeran Timoer melaksanakan gagasan untuk memindahkan Pusat Pemerintahan dari bagian Utara ke Selatan, yang sekarang berada di Desa Kuncen.

Pemindahan Pusat Pemerintahan itu dilakukan dengan beberapa alasan, pertama Pangeran Timoer ingin mempunyai tempat kedudukan yang baru sebagai satu peringatan atas dimulainya kekuasaannya sebagai seorang Bupati Purabaya di samping kedudukannya sebagai Wedana Bupati di Mancanegoro Timur bagian dari Kasulatanan Demak. Kedua, pemindahan tempat itu juga dilandasi satu anggapan bahwa temapt yang lama sebelumnya bukan sebagai pusat pemerintahan. Tetapi hanya sebagai tempat “pengawasan”.

Alasan lain atas pemindahan itu adalah bahwa menurut pengamatan tempat yang baru ternyata mempunyai fasilitas penunjang yang lebih baik dibanding daerah atau tempat yang lama. Fasilitas penunjang yang dianggap akan lebih banyak menjamin, karena letak desa yang mengelilingi satu dengan yang lain berdekatan. Hal itu menjamin pula untuk memberikan satu kekuatan, dukungan serta perlindungan terhadap adanya ketahanan wilayah.

Tempat yang kemudian dipilih sebagai pusat pemerintahan merupakan satu daerah yang diapit muara sungai Gondang dan sungai Catur yang sangat besar artinya dalam satu kepentingan strategis serta kepentingan sosial ekonomi, karena kedua sungai itu merupakan jalan simpang lalu lintas besar kali Madiun.

Disamping itu, daerah baru ini merupakan daerah dataran kering yang dalam keadaan demikian berpengaruh sekali terhadap kegiatan seluruh masyarakat dan Pemerintahan secara keseluruhan.

Keadaan sosial ekonomi di daerah selatan ini dirasa juga lebih baik dan lebih penting dibanding dengan daerah utarra. Demikian juga mekanisme keseluruhan pola kegiatan pemerintahan meliputi wilayah Kabuparten Purabaya secara utuh.

Sementara itu perang antara Pajang dengan Mataram yang berakhir dengan runtuhnya Pajang sekitar tahun 1586 menyebabkan putusnya hubungan formalitas antara Kabupaten Purabaya dengan Pajang.

Tetapi bukan berarti Kabupaten Purabaya “tunduk” terhadap pemerintahan Mataram. Pangeran Timoer yang kemudian hari juga dikenal sebagai Panembahan Rama menyatakan Purabaya sebagai kabupaten yang berdiri “bebas” dan tidak ada ikatan hierarkis dengan Mataram yang sudah mengalahkan Pajang. Dan ....”Purabaya adalah ahli waris dari tahta kerajaan Pajang”.

Pendirian yang keras dari Panembahan Rama ini ternyata mendapat dukungan dari beberapa Bupati Mancanegoro Timur. Akibatnya sudah cukup diperhitungkan oleh Panembahan Rama dan timbullah kemudian bentrokan yang tidak dapat dihindari lagi antara Mataram dengan Purabaya.

Pihak Mataram kemudian berusaha untuk mendudukan Purabaya dan menfgirimkan pasukannya untuk menggempur Purabaya yang dilakukan pertama kali pada tahun 1586. Setahun berikutnya di tahun 1587 pasukan Mataram juga dikirimkan untuk menggempur Purabaya. Tetapi dua kali serangan pasukan Mataram ke Purabaya ini mengalami kegagalan dan dapat dipatahkan di bagian sebelah barat kali Madiun. Kekalahan itu menjadikan Mataram lebih cermat dan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan berikutnya.
20020/7 <121> 3.4.1.1.5. Ratu Mas Kalinyamat [Demak]
marvidigezh: 1579, Mantingan
16121/7 <136> Pangeran Arya Penangsang (Prince) [Demak]
Arya Penangsang atau Arya Jipang, adalah Bupati Jipang Panolan yang memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549, namun dirinya sendiri kemudian tewas ditumpas para pengikut Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Arya Penangsang juga terkenal sakti mandraguna.

Silsilah Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Raden Kikin atau sering disebut sebagai Pangeran Sekar, putra Raden Patah raja pertama Kesultanan Demak. Ibu Raden Kikin adalah putri bupati Jipang sehingga ia bisa mewarisi kedudukan kakeknya. Selain itu Arya Penangsang juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Mataram.

Pada tahun 1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor karena melakukan penyerangan ke Malaka yang dikuasai Portugis) gugur dalam perang. Kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana, malah berebut takhta. Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto (putra pertama Raden Trenggana) membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").

Sepeninggal ayahnya, Arya Penangsang menggantikan sebagai [[bupati Jipang Panolan]]. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang Panolan sendiri terletak di sekitar daerah Blora, Jawa Tengah.

Aksi pembunuhan Raden Trenggana naik takhta Demak sejak tahun 1521 bergelar Sultan Trenggana. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai sultan keempat bergelar Sunan Prawoto.

Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu.

Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.

Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh.

Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan membunuh saingan beratnya, yaitu Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Pajang. Meskipun keempatnya dibekali keris pusaka Kyai Setan Kober, namun, mereka tetap dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat.

[[Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober]]. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. Hadiwijaya kemudian pamit pulang, sedangkan Sunan Kudus menyuruh Penangsang berpuasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra yang sebenarnya akan digunakan untuk menjebak Hadiwijaya tetapi malah mengenai Arya Penangsang sendiri pada waktu bertengkar dengan Hadiwijaya karena emosi Aryo Penangsang sendiri yang labil.

Sayembara Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera menumpas Arya Penangsang. Ia,, yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.

Hadiwijaya segan memerangi Penangsang secara langsung karena merasa sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan sesama anggota keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh bupati Jipang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.

Kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara. Hadiwijaya memberikan pasukan Pajang dan memberikan Tombak Kyai Plered untuk membantu karena anak angkatnya, yaitu Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan ikut serta.

Kematian Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.

Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.

Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.

Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.

Dampak [[budayaKisah kematian Arya Penangsang melahirkan tradisi baru dalam seni pakaian Jawa]], khususnya busana pengantin pria. Pangkal keris yang dipakai pengantin pria seringkali dihiasi untaian bunga mawar dan melati. Ini merupakan lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri sebagaimana watak Arya Penangsang.
16622/7 <126> Adipati Surohutomo / R Jaka Tambangan / Adipati Wirasaba [Adipati Wirahutama IV - Wirasaba Yogjakarta]
16823/7 <139+45> 1.1.1.1. Nyai Ageng Selo II / Roro Kinasih / Nyai Bicak [Brawijaya] 16924/7 <128> Kanjeng Panembahan Ronggowarsito [Ronggowarsito]
17025/7 <121> 1. Pangeran Tumenggung Mangkurat Panembahan Mangkurat [Raden Trenggono]
17326/7 <121> 4. Ratu Mas Mantingan / Pemantingan [Raden Trenggono] 17527/7 <121> 6. Ratu Mas Hario [Raden Trenggono]
17628/7 <121> 7. Ratu Mas Kekambang / Ratu Mas Gegambang [Raden Trenggono] 17829/7 <121> 10. Raden Ayu Sekarkedaton [Raden Trenggono]
17930/7 <121> 3.4.1.1.8. Ratu Mas Cempaka [Demak]
18231/7 <122> Pangeran Made Pandan ( Pulau Terang ) [Pandan ( Pulau Terang )]
18332/7 <134> 2. Nyai Ageng Pakis [Brawijaya]
18433/7 <134> 3. Nyai Ageng Purna [Brawijaya]
18534/7 <134> 4. Nyai Ageng Kare [Brawijaya]
18635/7 <134> 5. Nyai Ageng Wanglu [Brawijaya]
18736/7 <134> 6. Nyai Ageng Bokong [Brawijaya]
18937/7 <141> Pangeran Alas [Brawijaya]
19038/7 <139+45> 1.1.1.2. Ki Ageng Ngerang II Kyai Bodo [Kyai Ageng Ngerang I]
19239/7 <121> 3.4.1.1.1. Pangeran Prawoto [Demak]
19340/7 <144+46> 4.1.1.3.1. Pangeran Agung / Panembahan Ratu I (Pangeran Emas) [Gunung Jati II] 19441/7 <121> 3.4.1.1.3. Ratu Ayu Kirana [Azmatkhan] 19642/7 <134> 7. Nyai Ageng Adibaya [Brawijaya]
19743/7 <121> 3.4.1.1.1. Panembahan Mangkurat (cloning) [Demak]
19844/7 <121> 3.4.1.1.2. Ratu Mas Pambayun, Menikah Dengan Kiyai Ageng Lang [Demak]
19945/7 <121> 3.4.1.1.4. Ratu Mas Mantingan [Demak] 20146/7 <121> 3.4.1.1.6. Ratu Mas Hario di Surabaya [Demak]
20247/7 <121> 3.4.1.1.7. Ratu Mas Katambang [Demak]
20348/7 <121> 3.4.1.1.9. Panembahan Mas di Madiun [Demak]
20449/7 <121> 3.4.1.1.10. Ratu Sekarkedaton [Demak]
20550/7 <133+?> Pangeran Kusumahdinata / Pangeran Santri [Brawijaya V]
20651/7 <144+46> Pangeran Sedang Kemuning / Pangeran Suwarga (Pangeran Pakungja) [Gunung Jati II] 20752/7 <144+46> Ratu Petak (Syarifah Halimah) [Petak] 20953/7 <147> Jambaleka I (Sumenep) [Brawijaya V]
21154/7 <148+48> Baru Klinting ? (Ki Bagus Baruklinting) [Brawijaya V]
21255/7 <148+47> Ki Ageng Mangir II ? (Wonoboyo) [Brawijaya V] 21356/7 <149> Pangeran Karboso Reksojiwo ? (Bupati Gedongkiwo) [Brawijaya V]
21457/7 <150+49> Ario Timbul [Brawijaya V]
21558/7 <150+49> Ario Kudut [Brawijaya V]
21659/7 <150+49> Ario Podjok [Brawijaya V]
21760/7 <150+49> Nyi Sumekar [Brawijaya V]
22061/7 <144+46> Ratu Emas [Gunung Jati] 22162/7 <144+46> Pangeran Weruju [Gunung Jati]
22263/7 <152> Ψ 2nd Decendant of Sultan Demak [Demak]
22364/7 <153> Panembahan Djagaraga [Patah]
22465/7 <159> Pangeran Wetan [Kesultanan Demak]

8

2271/8 <162+54> Pangeran Aryo Benowo / Abdulhalim [Pajang]
titl: Sultan Pajang II
DIPUTUS ORANG TUANYA : 26353
2282/8 <166> Adipati Wargahutomo / Raden Warga / Adipati Wirasaba [Adipati Wirahutama IV - Wirasaba Yogjakarta]
marvidigezh: Sedo/wafat di Bener oleh gandek utusan Kasultanan Pajang
2293/8 <166> Tumenggung Suroloyo [Wirohutomo]
ganedigezh:
2384/8 <177> Raden Ayu Semi Ing Kalinyamat [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 Cucu ke 1 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 1 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
titl: di Kalinyamat
eured: <65> Raden (Nama tdk tercatat) [Tidak tercatat]
2395/8 <177> Raden Ayu Pengulu [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 Cucu ke 2 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 2 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
titl: di Muryopodo
2406/8 <177> Raden Ayu Winongan [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 3 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 3 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
2417/8 <177> Raden Mas Kaputran [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 4 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 4 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
2428/8 <177> Pangeran Adipati Atmowidjoyo [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 5 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 5 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
titl: di Tuban
2439/8 <177> Raden Ayu Pandam [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 6 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 6 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
24410/8 <177> Pangeran Haryo Kanoman [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 7 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 7 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
24511/8 <177> Raden Ayu Pasangi [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 8 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 8 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
24612/8 <177> Raden Mas Lontang Hirawan / Pangeran Haryo Hirawan [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 9 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 9 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
titl: di Djapan, Panembahan Djapan II
marvidigezh: Butuh, Dimakamkan di Butuh - Kebumen
24813/8 <177> Raden Mas Tangsang Hurawan / Raden Mas Tangsang Hirawan [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 11 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 11 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
darvoud all: di Madiun
24914/8 <177> Raden Mangkurat Wiryawan [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 12 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 12 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
titl: di Madiun
25015/8 <177> Raden Haryo Sememi [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 13 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 13 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
25116/8 <177> Raden Balap [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 14 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 14 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
25217/8 <177> Raden Ajeng Sulah [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 15 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 15 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
25318/8 <177> Raden Ajeng Dilah [Gp.2] / Raden Ayu Dumilah [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 16 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 16 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
eured: <66> Kanjeng Panembahan Senopati / Danang Sutawijaya (Raden Sutowijoyo) [Mataram] a. a. 1601
25419/8 <177> Raden Haryo Sumantri [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 17 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 17 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
25520/8 <177> Raden Ayu Pamegatan [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 18 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 18 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
25621/8 <177> Raden Kakap [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 19 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 19 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
25722/8 <177> Raden Haryo Paningrom [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 20 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 20 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
25823/8 <177> Raden Haryo Kanoman [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 21 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 21 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang
26324/8 <181> Pangeran Seda Karya [Majapahit]
micher: Adipati Ponorogo IV
26725/8 <188> Menak Gadru [Brawijaya V]
titl: Adipati Babatab
28426/8 <177> Raden Ayu Reno Dumilah [Demak]
ganedigezh: Putri ke 10 Pangeran Timur, Sultan Trenggono
eured: <67> 9. Pangeran Singasari / Raden Santri [Mataram]
28727/8 <208> Raden Tumenggung Mertayuda [Majapahit]
titl: (Adipati Banyumas ke-empat (1620-1650))
28828/8 <210> Kyai Aden Gesikan III [Brawijaya V]
ganedigezh: Grade #4 Brawijaya V
22529/8 <160+168!> Ki Ageng Enis [Br.6.2.1.1] (Ki Ageng Lawiyan) [Brawijaya V]
eured: <68> Nyai Ageng Ngenis [Ngenis]
marvidigezh: 1503
28230/8 <193+60+206!> 4.1.1.3.1.1. Panembahan Ratu I / Pangeran Mas Zainul Arifin [Azmatkhan]
eured: <69> Ratu Harisbaya [Cirebon]
eured: <226!> Ratu Pembayun [Sultan Hadiwijaya]
titl: 1570 - 1649, Sultan Cirebon IV (1568-1649)
== Panembahan Ratu I, Sultan Cirebon IV (1570-1649) == Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Mas, putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
28531/8 <206> Panembahan Ratu I [?]
ganedigezh: 1570, Cirebon
micher: Cirebon, Sultan Cirebon III ( 1589 - 1649 )
marvidigezh: 1649, Cirebon
26532/8 <182> Pangeran Pandanaran I [Pandanaran]
ganedigezh: 1575
26233/8 <162+54> Pangeran Benawa / Sultan Prabuwijaya (AbdulHalim) [Sultan Hadiwijaya]
micher: 1582, Adipati Jipang Panolan
titl: 1586 - 1587, Pajang, Sultan Pajang II bergelar Sultan Prabuwijaya
marvidigezh: 1587, Pajang
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar Sultan Prabuwijaya.

Silsilah Pangeran Benawa

Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.

Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.

Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta.

Kisah Hidup Pangeran Benawa Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.

Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang. Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.

Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.

Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.

Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.

Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.

Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.

Akhir Kesultanan PajangNaskah-naskah babad memberitakan versi yang berlainan tentang akhir pemerintahan Pangeran Benawa. Ada yang menyebut Benawa meninggal dunia tahun 1587, ada pula yang menyebut Benawa turun takhta menjadi ulama di Gunung Kulakan bergelar Sunan Parakan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Pangeran Benawa menuju ke arah barat dan membangun sebuah pemerintahan yang sekarang bernama Pemalang. Konon beliau juga meninggal di Pemalang, di desa Penggarit.

Sepeninggal Benawa, Kesultanan Pajang berakhir pula, dan kemudian menjadi bawahan Mataram. Yang diangkat menjadi bupati di Pajang ialah Pangeran Gagak Baning adik Sutawijaya. Setelah meninggal, Gagak Baning digantikan putranya yang bernama Pangeran Sidawini.
26034/8 <172> Arya Pangiri / Sultan Ngawantipura [Demak]
eured: <261!> Ratu Pembayun [Pajang]
titl: 1583 - 1586, Pajang, Sultan Pajang II bergelar Sultan Ngawantipura
Arya Pangiri adalah adipati Demak yang berhasil menjadi raja kedua Kesultanan Pajang, yang memerintah tahun 1583-1586 bergelar Sultan Ngawantipura.

[[Asal-Usul]] Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.

Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya.

Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.

[sunting] Arya Pangiri Sebagai Bupati Demak Kerajaan Aceh mencatat Arya Pangiri sebagai seorang bupati yang mudah curiga. Pada tahun 1564 Sultan Ali Riayat Syah raja Aceh mengirim utusan meminta bantuan Demak untuk bersama mengusir Portugis dari Malaka. Tapi Arya Pangiri justru membunuh utusan tersebut. Akhirnya pada tahun 1567 Aceh tetap menyerang Malaka tanpa bantuan Jawa. Serangan itu gagal walaupun memakai meriam hadiah dari sultan Turki.

Arya Pangiri Merebut Pajang Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.

Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).

Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus.

Pemerintahan Arya Pangiri Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya.

Arya Pangiri melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.

Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.

Kekalahan Arya Pangiri Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya di Mataram. Kedua saudara angkat itu berunding di desa Weru. Akhirnya diambilah keputusan untuk menyerbu Pajang.

Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berangkat untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhtanya. Perang terjadi di kota Pajang. Pasukan Arya Pangiri yang terdiri atas 300 orang Pajang, 2000 orang Demak, dan 400 orang seberang dapat ditaklukkan. Arya Pangiri sendiri tertangkap dan diampuni nyawanya atas permohonan Ratu Pembayun, istrinya.

Sutawijaya mengembalikan Arya Pangiri ke Demak, serta mengangkat Pangeran Benawa sebagai raja baru di Pajang.
24735/8 <177> Raden Ayu Retno Dumilah [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 2 = Cucu ke 10 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 10 Pangeran Timur / Pangeran Maskumambang Diputus Ayahnya : 188342
eured: <70> Kanjeng Panembahan Senapati /Danang Sutawijaya (Raden Bagus Sutawijaya) [Kesultanan Mataram] g. 1530c a. a. 1601
micher: 1586 - 1590, Bupati Madiun Ke 2
== Raden Ayu Retno Djumilah ==

Kegagahan Panglima Perang Perempuan

Saat Mataram dibawah Sutowidjojo berusaha menundukkan Purabaya di tahun 1586 kepemimpinan Kabupaten Purabaya telah diserahkan dari tangan Pangeran Timoer yang juga Panembahan Rama kepada putrinya Raden Ayu Retno Djumilah.

Putri Purabaya yang ternyata cukup tangkas ini bukan saja mendapat limpahan kepemimpinan sebagai Bupati Purabaya ke II di tahun 1586, tetapi juga bertindak sebagai Panglima Perang dari Kabupaten Purabaya. Didukung oleh beberapa bupati di kawasan Mancanegoro, sekuranganya lima belas kabupaten di kawasan timur, panglima perang ini ternyata sanggup mematahkan kekuatan pasukan lawan yang tak lain Pasukan Mataram.

Mataram yang telah dua kali ggagal dalam serangannya ke Purabaya dengan cermat memperhitungkan kembali rencana serangan yang ketiga. Serangan Mataram ketiga kalinya ke Purabaya dilakukan pada tahun 1590. Taktik yang sudah diperhitungkan sebelumnya oleh Pasukan Mataram dengan serangan mendadak serta berhasil menyusup masuk pusat kota dan istana Wonorejo, yang saat itu hanya dipertahankan oleh Manggalaning Perang Raden Ayu Retno Djumilah. Pertempuran satu lawan satu tak dapat dihindarkan lagi antara Manggalaning Perang Purabaya Raden Ayu Retno Djumilah dengan pimpinan ppasukan Mataram yang tak lain adalah Sutowidjojo sendiri.

Manggalaning Perang Purabaya cukup gigih bertempur sebagai senjata andalan panglima perang ini berupa sebilah keris bernama “ Kyai Kala Gumarang”. Pusaka ini merupakan pusaka andalan kabupaten. Pertarungna antara dua pemimpin pasukan ini beerjalan cukup seru dan berlangsung di sebuah sendang tidak jauh dari istana Kabupaten Wonorejo.

Besarnya pasukan kerajaan Mataram memang sangat merepotkan pasukan Kabupaten Madiun yang jumlahnya terbatas. Dalam perang tanding itu, pusaka andalan Kyai Kala Gumarang berpindah tangan. Bersamaan dengan itu pula, Retno Djumilah berpikir bijaksana. Jika diteruskan, maka peperangan itu hanya akan melahirkan kematian dan menyisakan kebencian serta dendam yang tak pernah berhenti. Pikiran bijak itulah yang kemudian akhirnya diwujudkan dalam kompromi kedua belah pihak. Bahkan dalam perjalanan waktu selanjutnya, Retno Djumilah, Sang Panglima perang sekaligus Bupati Madiun ke Mataram. Wanita cerdas dan trengginas tersebut akhirnya dipersunting sebagai permaisuri Mataram.

Menandai berakhirnya peperangan, pada 16 Nopember 1590 digantilah Purabaya menjadi Madiun. Penggantian nama Purabaya menjadi Madiun terjadi pada: hari Jum’at legi, tanggal 16 Nopember 1950 M. Atau hari Jum’at Legi, tanggal 21 Suro Tahun Dal 1510 Jawa.


PERJUANGAN SANG PEREMPUAN

Raden Ayu Retno Djumilah, sosok perempuan yang cerdas dan trengginas. Sebagai putri seorang bupati, bukan hanya trengginas dalam olah kanuragan tetapi juga sebagai sosok perempuan pemimpin yang disegani. Putri Bupati Pangeran Timoer ini memang kemudian juga mengemban tugas sebagai bupati, setelah ayahanda menyelesaikan tugasnya.

Sejarah mencatat bahwa Retno Djumilah harus berhadapan dengan kekuasaan yang lebih besar, Kasultanan Mataram. Akibat jauhnya Demak, dan kemudian kekuasaan pindah ke Mataram, maka ada kebijakan dari Mataram yang menjadikan wilayah Demak berada dalam kekuasaannya.

Kabupatem Madiun memang menjadi sasaran utama untuk dikuasai Mataram. Ini terjadi karena memang posisi Kabupaten Madiun sangat strategis. Kabupaten Madiun dan Bupatinya, memang menjadi pemimpinan para bupati-bupati di wilayah brang wetan. Ada lima belas kabupaten yang pada waktu itu di bawaqh kendali Bupati Madiun.

Kebijakan Mataram yang menyatakan bahwa Kabupaten Madiun harus berada dalam kekuasaannya, sejak awal ditolak oleh Pangeran Timoer. Akibatnya, terjadilah serangan Mataram ke Madiun. Dua kali, tahun 1586 dan 1587, Mataram gagal menundukkan Madiun. Usaha Mataram tak berhenti, ketika masa kepemimpinan Sutowidjojo, pada tahun 1590 dilakukanlah serangan ke Madiun. Kala itu, yang Madiun dipimpin oleh Raden Ayu Retno Djumilah. Sebuah titik balikterjadi. Peperangan dan permusuhan itu akhirnya berhenti. Raden Ayu Retno Djumilah yang memimpin perlawanan tersebut, pada akhirnya menggambil inisiatif untuk berkompromi dengan situasi. Dia lebih memilih kepentingan masa depan, ketimbang mengorbankan rakyat untuk berperang. Keputusan penghentian peperangan ini tentunya menguntungkan kedua belah pihak.

Dalam perjalanan waktu selanjutnya, Retno Djumilah justru mampu mengambil simpati Pangeran Sutowidjojo. Karena, kemudian Retno Djumilah dipersunting menjadi permaisuri oleh Pangeran Sutowidjojo. Perkawinan dengan pemimpin Mataram lebih dari sebuah hubungan pribadi, tetapi juga menempatkan Madiun secara terhormat dalam sejarah kerajaan jawa. Sebagai perempuan, dia amat hebat. Retno Djumilah bukan sekedar anak Bupati, tetapi juga tokoh pemimpin yang mampu memimpin sebuah pasukan perang. Dia juga yang berhasil menghentikan konflik yang sempat terjadi antara Mataram dan Madiun.

Untuk memberikan pemaknaan terhadap peran kepemimpinan perempuan yang luar biasa, Bupati Djunaedi Mahendra meprakarsai berdirinya sebuah patung di halaman masuk pendopo Kabupaten Madiun. Patung ini bukanlah patungnya Retno Djumilah, tetapi sebagai simbol atau penandaan bahwa kaum perempuan di Kabupaten Madiun sejak lama telah berada dalam kedudukan sejajar dengan kaum pria.
26436/8 <193> Kanjeng Ratu Kulon [Gp.1] / Ratu Mas Tinumpak (Ratu Mas Ayu Sakluh) [Cirebon]
eured: <71> 1. Sultan Agung / Raden Mas Djatmika (Raden Mas Rangsang) [Mataram] g. 1593 a. a. 1645
marvidigezh: 1653, Putri Panembahan Ratu (Sultan Cirebon Ke 4 setelah Sunan Gunung Jati)
== Tokoh Sunan Amangkurat Tegalwangi ==

Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro dari tulisan Sartono Kusumaningrat (http://www.tembi.org/majalah-prev/ratu.htm)

Sunan Amangkurat Agung adalah putra kesepuluh Sultan Agung Hanyakrakusuma dan merupakan putra kedua dari permaisuri kedua yang bernama Raden Ayu Wetan. Permaisuri pertama Sultan Agung Hanyakrakusuma bernama Kanjeng Ratu Kulon (Ratu Emas Tinumpak). Permaisuri pertama ini setelah melahirkan putranya yang diberi nama Raden Mas Sahwawrat diusir dari kraton dan tempatnya digantikan oleh permaisuri kedua. Setelah permaisuri pertama meninggalkan kraton, permaisuri kedua diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Kulon.

Amangkurat I lahir pada tahun 1619 dengan nama Raden Mas Sayidin kemudian diberi nama Jibus dan Rangkah ( yang berarti 'semak berduri', 'tutup batas'). Sebagai putra mahkota secara resmi ia diberi nama Pangeran Aria Mataram. Raja ini juga dikenal dengan nama Susuhunan Amangkurat Senapati Ingalaga, Susuhunan Tegalwangi, dan Sultan Plered. Sering pula ia disebut dengan nama Tegalwangi saja. Ia diberi nama Tegalwangi karena meninggal di Tegalwangi (daerah Tegal, Jawa Tengah) dalam pelariannya karena penyerbuan Trunajaya.

Raja ini pulalah yang memindahkan kratonnya dari Kerta ke Plered tidak lama setelah ia menerima tampuk pimpinan pemerintahan. Usaha pemindahan kraton itu sendiri sebenarnya telah dimulai sejak 26 Januari 1648 semasa Sultan Agung masih memegang pemerintahan.

Amangkurat Tegalwangi pernah menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh adiknya sendiri yang bernama Pangeran Alit / Raden Mas Alit (putra kedua Kanjeng Ratu Kulon) yang mendapat dukungan kaum ulama Mataram. Menurut cerita tutur pemberontakan Pangeran Alit terjadi karena hasutan Tumenggung Pasingsingan (pengasuh Pangeran Alit) dan anaknya yang bernama Tumenggung Agrayuda. Kedua tumenggung itu mengobarkan nafsu Pangeran Alit untuk menjadi raja dan mereka menjamin bahwa separuh Mataram berpihak kepadanya. Akan tetapi pemberontakan Pangeran Alit tidak berhasil karena rencananya terburu diketahui oleh pihak Amangkurat Tegalwangi. Pangeran Alit sendiri tewas oleh karena tergores oleh kerisnya sendiri yang beracun.

Untuk membalas dendam atas dukungan kaum ulama Mataram terhadap adiknya yang memberontak itu, Amangkurat memerintahkan empat orang kepercayaannya untuk melakukan sapu bersih kaum ulama. Empat orang kepercayaannya itu adalah Raden Mas atau Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa atau Kiai Suta (Tumenggung Pati), Tumenggung Suranata (Tumenggung Demak)., dan Kiai Ngabei Wirapatra. Dalam tragedi ini sebanyak 5-6 ribu orang ulama tewas dibantai secara mengerikan.
22637/8 <162+54> Ratu Pembayun [Sultan Hadiwijaya] 23038/8 <191+?> Kyai Ageng Saba [Br.6.1.1.2] (Ki Ageng Made Pandan) [Brawijaya VI] 23139/8 <160+168!> 1. Nyai Ageng Lurung Tengah [Mataram]
23240/8 <160+168!> Nyai Ageng Saba [Br.6.3.1.2] (Nyai Ageng Wonosobo) [Brawijaya VI] 23341/8 <160+168!> 3. Nyai Ageng Bangsri [Mataram]
23442/8 <160+168!> 4. Nyai Ageng Jati [Mataram]
23543/8 <160+168!> 5. Nyai Ageng Patanen [Mataram]
23644/8 <160+168!> 6. Nyai Ageng Pakis Dadu [Mataram]
23745/8 <162+54> Putri (no 13) [?]
25946/8 <174+56> Raden Ayu Rambe [Sultan Mughayat Syah] 26147/8 <162> Ratu Pembayun [Pajang] 26648/8 <167> Panembahan Djojoprono I / Panembahan Pruwita [Trenggono]
26849/8 <189> Tumenggung Perampilan [Brawijaya]
26950/8 <190> 1.1.1.2.1. Ki Ageng Ngerang III Kyai Buyut (Pati) [Kyai Ageng Ngerang I] 27051/8 <167> Raden Ayu Juru [Trenggono]
27152/8 <167> Raden Ayu Surajaya [Trenggono]
27253/8 <177> Panembahan Hawuryan [Raden Trenggono]
27354/8 <162+54> Ratu Mas Kumelut [Sultan Hadiwijaya] 27455/8 <162+54> Ratu Mas Adipati [Surabaya] [Sultan Hadiwijaya]
27556/8 <162+54> Ratu Mas Banten [Sultan Hadiwijaya]
27657/8 <162+54> Ratu Mas Japara [Sultan Hadiwijaya]
27758/8 <162+54> Pangeran Sindusena / Kanjeng Pangeran Tumenggung Sindusena (Kanjeng Pangeran Haryo Sindusono) [Sultan Hadiwijaya]
27859/8 <212+63> Kyai Ageng Mangir III Ki Jaka Mangir ? (Wonoboyo) [Brawijaya V]
Ki Ageng Mangir Wonoboyo, Keislamannya meninggalkan banyak penyimpangan dan bias sejarah kerajaan Mataram, gugurnya Ki Ageng Mangir dalam keadaan sujud sembahyang mengisyaratkan ketinggian kadar keimanannya sebagaimana Umar Bin Chottob dan Sayidina Ali wafat ditusuk pedang dari belakang dalam keadan sujud shalat.
27960/8 <190> Ki Ageng Ngerang IV [Br.6.3.2.2] [Brawijaya VI]
28061/8 <190> Ki Ageng Ngerang V [Br.6.3.2.3] [Brawijaya VI]
28162/8 <190> Pangeran Kalijenar [Br.6.3.2.4] [Brawijaya VI]
28363/8 <195> Raden Wasisrowo [Brawijaya]
28664/8 <206+60> Nji Bimotjili [Gunung Jati]
28965/8 <209> Jambaleka II (Sumenep) [Brawijaya V]
29066/8 <162+54> Raden Arya Tambakbaya [Sultan Hadiwijaya]
29167/8 <213> Pangeran Tjitro Kusumo [Brawijaya V]
29268/8 <193+60> Pangeran Manis [Cirebon]
29369/8 <222> Ψ 3rd Decendant of Sultan Demak [Demak]
29470/8 <180> R. Rengas Wetan [Wetan (?)]
29571/8 <223> Kyai Ageng Hampoewan Ing Djagaraga [Patah]
29672/8 <206> Panembahan Wirasuta (Pangeran Gebang) [Gunung Jati II]
29773/8 <224> Pangeran Ler II [Kesultanan Demak]
29874/8 <172> Ki Ageng Pruwita Ngardin [?]
29975/8 <172> Pangeran Sumendhe Panembahan Wirasmoro [Panembahan Wirasmoro]
30076/8 <172> Ψ Ratu Mas Semangkin [?]
30177/8 <172> Ψ Ratu Mas Prihatin [?]
30278/8 <170> Pangeran Sujanapura Seda ing Wotwaru Pangeran Karanggayam [Raden Trenggono]
Views
Ostilhoù personel
Enklask araokaet