Rakryan Jayadharma / Rakeyan Jayadharma (Prabu Sri Pamekas) - Taolenn an diskennidi

Ur pennad tennet eus Rodovid BR, ar c'helc'hgeriadur digor.

Den:330111
Jump to: navigation, search
Ezhomm en deus hor servijer eus kalz loazioù evit diskwel gwezennoù bras. Setu perak ne c'hall gwelout an arvererien dizanv nemet 7 remziad diagentidi ha 7 remziad diskennidi en ur wezenn. Ma vennit gwelout ul lignez a-bezh hep enskrivadur, ouzhpennit an testenn ?showfulltree=yes e dibenn chomlec'h URL ar bajenn-mañ. Mar plij, ne lakait e neblec'h all ebet ul liamm eeun ouzh ur wezenn a-bezh.
11/1 <?> Rakryan Jayadharma / Rakeyan Jayadharma (Prabu Sri Pamekas) [Sunda-Galuh]
ganedigezh: Putra Mahkota, Meninggal Sebelum Naik Tahta
eured: <1> Dyah Singamurti / Dyah Lembu Tal [Wangsa Rajasa]
Hubungan dengan berdirinya Majapahit

Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota Rakeyan Jayadarma, dan berkedudukan di Pakuan. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Rakeyan Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur, karena ia berjodoh dengan putrinya bernama Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Ateleng, yang merupakan anak dari Ken Angrok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.

Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya yang dikatakan terlahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke-4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, Raden Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.

Dalam Babad Tanah Jawi Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pasundan. Sebagai keturunan Jayadarma, ia adalah penerus tahta Kerajaan Sunda-Galuh yang sah, yaitu apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu mangkat. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota, karena Raden Wijaya berada di Jawa Timur dan kemudian menjadi raja pertama Majapahit.

2

21/2 <1+1> Raden Wijaya / Prabu Kertarajasa Jayawardana [Majapahit Rajasa]
ganedigezh: Pakuan
eured:
eured:
eured: <2> Gayatri / Rajapatni / Pusparasmi [Kertanegara] a. a. 1350
eured: <3> Dara Jingga / Indreswari (Li Yu Lan / Sri Tinuhanengpura) [Dharmasraya]
eured: <4> Tribhuwaneswari [Kertanegara]
eured: <5> Narendraduhita / Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, [Kertanegara]
eured: <6> Pradnya Paramita / Prajña Paramita / Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita [Kertanegara]
eured:
eured: <7> Dara Petak / Dara Pethak / Indreswari (Stri Tinuheng Pura) [Dharmasraya - Sumatera]
titl: 10 Du 1293 - 1309, Majapahit, Prabu Majapahit I bergelar Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertajasa Jayawardhana
marvidigezh: 1309, Dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping
http://jejaknusantara.com/tokoh-radenwijaya

Raden Wijaya (lahir: ? - wafat: Majapahit, 1309) adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardana. Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertajasa Jayawardhana.

Nama Asli Raden Wijaya nerupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya secara lengkap, yaitu Raden Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden belum populer.

Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar dyah merupakan gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar Raden. Istilah Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.

Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.

Asal-Usul Menurut Pararaton, Raden Wijaya adalah putra Mahisa Campaka, seorang pangeran dari Kerajaan Singhasari.

Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raden Wijaya adalah putra pasangan Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal. Ayahnya adalah putra Prabu Guru Darmasiksa, raja Kerajaan Sunda Galuh, sedangkan ibunya adalah putri Mahisa Campaka dari Kerajaan Singhasari. Setelah Rakeyan Jayadarma tewas diracun musuhnya, Lembu Tal pulang ke Singhasari membawa serta Wijaya. Dengan demikian, Raden Wijaya merupakan perpaduan darah Sunda dan Jawa.

Kisah di atas mirip dengan Babad Tanah Jawi yang menyebut pendiri Kerajaan Majapahit bernama Jaka Sesuruh putra Prabu Sri Pamekas raja Kerajaan Pajajaran, yang juga terletak di kawasan Sunda. Jaka Sesuruh melarikan diri ke timur karena dikalahkan saudara tirinya yang bernama Siyung Wanara. Ia kemudian membangun Kerajaan Majapahit dan berbalik menumpas Siyung Wanara.

Berita di atas berlawanan dengan Nagarakretagama yang menyebut Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki, putra Narasinghamurti. Naskah ini memuji Lembu Tal sebagai seorang perwira yuda yang gagah berani dan merupakan ayah dari Dyah Wijaya.

Di antara berita-berita di atas, yang paling dapat dipercaya adalah Nagarakretagama karena naskah ini selesai ditulis pada tahun 1365. Jadi, hanya selisih 56 tahun sejak kematian Raden Wijaya.

Silsilah Keluarga Raden Wijaya dalam prasasti Balawi tahun 1305 menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa. Menurut Nagarakretagama, Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti. Menurut Pararaton, Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng putra Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa.

Menurut prasasti Balawi dan Nagarakretagama, Raden Wijaya menikah dengan empat orang putri Kertanagara, raja terakhir Kerajaan Singhasari, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan menurut Pararaton, ia hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja, serta seorang putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Petak.

Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi, Raden Wijaya memiliki seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama Jayanagara. Sedangkan Jayanagara menurut Pararaton adalah putra Dara Petak, dan menurut Nagarakretagama adalah putra Indreswari. Sementara itu, dari Gayatri lahir dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.

Namun demikian ada juga pendapat lain, dimana Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga yang juga salah seorang putri Kerajaan Melayu sebagai istrinya selain dari Dara Petak, karena Dara Jingga juga dikenal memiliki sebutan sira alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa.

Mendirikan Desa Majapahit Menurut prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari. Raden Wijaya ditunjuk Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelang-Gelang yang menyerang dari arah utara Singhasari. Wijaya berhasil memukul mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.

Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia memilih pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja penguasa Songeneb (nama lama Sumenep).

Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.

Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, desa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit. Menjadi Raja Majapahit Catatan Dinasti Yuan mengisahkan pada tahun 1293 pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa untuk menghukum Kertanagara, karena pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol.

Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengundang Ike Mese untuk memberi tahu bahwa dirinya adalah ahli waris Kertanagara yang sudah tewas. Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.

Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam kapal Mongol.

Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.

Raden Wijaya kemudian menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.

Masa Pemerintahan Dalam memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan. Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, Lembu Sora sebagai patih Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai pasangguhan. Pada tahun 1294 Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu yang dulu melindunginya saat pelarian menuju Pulau Madura.

Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama Lumajang).

Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun, ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi di halaman istana.

Akhir Hayat Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa.

Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja selanjutnya.

3

51/3 <2+7> Jayanagara / Jayanegara (Raden Kalagemet) [Majapahit Rajasa]
ganedigezh: 1294
titl: 1295, Kediri (East Java), Yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha (Bhre Daha)
titl: 1309 - 1328, Majapahit, Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara
marvidigezh: 1328, Majapahit
32/3 <2+2> Tribhuwana Wijayatunggadewi / Dyah Gitarja (Ratu Kenconowungu) [Majapahit Rajasa]
eured: <8> Rahaden Cakradhara / Raden Cakradara (Kertawardhana Bhre Tumapel) [Brawijaya] a. a. 1386
titl: 1328 - 1350, Majapahit, Raja Majapahit III bergelar Sri Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.

Silsilah Tribhuwana Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.

Menurut Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Setelah Jayanagara meninggal tahun 1328, para ksatriya pun berdatangan melamar kedua putri. Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara, diperoleh dua orang pria, yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat.

Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.

[sunting] Pemerintahan Tribhuwana Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.

Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.

Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.

Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.

Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.

Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi raja Majapahit.

[sunting] Akhir Hayat Tribhuwana Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.

Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371.

Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan
43/3 <2+2> Dyah Wiyat / Rajadewi Maharajasa (Bhre Daha I) [Majapahit Rajasa]
Dyah Wiyat alias Rajadewi Maharajasa adalah putri bungsu Raden Wijaya, pendiri Majapahit.

Silsilah Dyah Wiyat Dyah Wiyat adalah putri Raden Wijaya yang lahir dari Gayatri. Ia memiliki kakak kandung bernama Dyah Gitarja, dan kakak tiri bernama Jayanagara.

Pararaton mengisahkan Jayanagara yang menjadi raja kedua, merasa takut takhtanya terancam, sehingga Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat dilarang menikah. Baru setelah ia meninggal tahun 1328, para ksatria berdatangan melamar kedua putri tersebut. Setelah diadakan sayembara, diperoleh dua orang ksatriya, yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat. Kudamerta kemudian bergelar Wijayarajasa atau Bhre Wengjer atau Bhatara Parameswara ring Pamotan. Dari perkawinan itu lahir Padukasori yang menjadi permaisuri Hayam Wuruk putra Dyah Gitarja Tribhuwana Tunggadewi.

Peranan Dyah Wiyat Pada pemerintahan Jayanagara, Dyah Wiyat diangkat sebagai raja bawahan di Kadiri bergelar Rajadewi Maharajasa Bhre Daha. Jabatan ini terus dipegangnya sampai ia meninggal pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, keponakan sekaligus menantunya.

Dalam pemerintahan Hayam Wuruk, Rajadewi tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Rajadewi meninggal. Pararaton hanya menyebut kematiannya setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371. Rajadewi kemudian didharmakan di Adilangu, dengan candi bernama Purwawisesa.

4

81/4 <3+8> Prabu Hayam Wuruk [Majapahit Rajasa]
ganedigezh: 1334
eured: <9!> Sri Sudewi / Padukasori [Wijayarajasa]
eured: <10> Selir / Garwo Ampeyan [Tdk ada Catatan]
titl: 1350 - 1389, Majapahit, Prabu Majapahit IV bergelar Maharaja Sri Rajasanagara
marvidigezh: 1389
Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1351-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Majapahit mencapai zaman kejayaannya.

[sunting] Silsilah Hayam Wuruk Nama Hayam Wuruk artinya "ayam yang terpelajar". Ia adalah putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara. Ibunya adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja bawahan di Singhasari bergelar Bhre Tumapel.

Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.

Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya.

Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.

[sunting] Masa pemerintahan Hayam Wuruk Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).

Peristiwa Bubat Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Bubat Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja Galuh (di Jawa Barat), Dyah Pitaloka Citraresmi. Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok kerajaan Galuh. Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak kerajaan Galuh untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Kerajaan Galuh menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan kerajaan Galuh tewas, dan dalam beberapa tahun Galuh menjadi wilayah Majapahit.

"Kecelakaan sejarah" ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.

Sastra Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, kitab Kakawin Sutasoma (yang memuat semboyan Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa) digubah oleh Mpu Tantular, dan kitab Nagarakretagama digubah oleh Mpu Prapanca (1365).

Suksesor

Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.
102/4 <4+9> Dyah Duhitendu Dewi / Putri Indu Dewi Purnamawulan (Bhre Lasem Sang Halemu) [Majapahit Rajasa]
eured: <11> Raden Larang / Rajasawardhana / Bhre Matahun [tdk ada Catatan] a. a. 1383
marvidigezh: 1382, Lasem
Silsilah Bhre Wirabhumi

Perang Paregreg adalah perang yang identik dengan tokoh Bhre Wirabhumi.

Nama asli Bhre Wirabhumi tidak diketahui. Menurut Pararaton, ia adalah putra Hayam Wuruk dari selir, dan menjadi anak angkat Bhre Daha istri Wijayarajasa, yaitu Rajadewi. Bhre Wirabhumi kemudian menikah dengan Bhre Lasem sang Alemu, putri Bhre Pajang (adik Hayam Wuruk).

Menurut Nagarakretagama, istri Bhre Wirabhumi adalah Nagarawardhani putri Bhre Lasem alias Indudewi. Indudewi adalah putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya dari pada Pararaton, karena ditulis pada saat Bhre Wirabhumi masih hidup.

Jadi kesimpulannya, Bhre Wirabhumi lahir dari selir Hayam Wuruk, menjadi anak angkat Rajadewi (bibi Hayam Wuruk), dan kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi.

Perang Dingin Wikramawardhana dan Bhre WirabhumiPada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Wijayarajasa, hubungan antara Majapahit istana barat dan timur masih diliputi perasaan segan, mengingat Wijayarajasa adalah mertua Hayam Wuruk.

Wijayarajasa meninggal tahun 1398. Ia digantikan anak angkat sekaligus suami cucunya, yaitu Bhre Wirabhumi sebagai raja istana timur. Sementara itu Hayam Wuruk meninggal tahun 1389. Ia digantikan keponakan sekaligus menantunya, yaitu Wikramawardhana.

[[Ketika Indudewi meninggal dunia, jabatan Bhre Lasem diserahkan pada putrinya, yaitu Nagarawardhani. Tapi Wikramawardhana juga mengangkat Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem. Itulah sebabnya, dalam Pararaton terdapat dua orang Bhre Lasem, yaitu Bhre Lasem Sang Halemu istri Bhre Wirabhumi, dan Bhre Lasem Sang Ahayu istri Wikramawardhana.]]

Sengketa jabatan Bhre Lasem ini menciptakan perang dingin antara istana barat dan timur, sampai akhirnya Nagarawardhani dan Kusumawardhani sama-sama meninggal tahun 1400. Wikramawardhana segera mengangkat menantunya sebagai Bhre Lasem yang baru, yaitu istri Bhre Tumapel
63/4 <3+8> Dyah Nertaja / Bhre Pajang I [Majapahit Rajasa] 74/4 <3+8> Dyah Nertaja / Dyah Nartaja (Rajasaduhiteswari Dyah Nartaja) [Majapahit Rajasa]
Silsilah Tribhuwana

Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.

Menurut Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Setelah Jayanagara meninggal tahun 1328, para ksatriya pun berdatangan melamar kedua putri. Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara, diperoleh dua orang pria, yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat.

Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.
95/4 <4+9> Sri Sudewi / Padukasori [Wijayarajasa]
Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.
116/4 <4+9> Indudewi / Bhre Lasem [Majapahit Rajasa]
Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya. Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem

5

181/5 <7+12> Wikramawardhana / Raden Gagaksali [Majapahit Rajasa]
eured: <14!> Kusumawardhani / Bhre Kabalan I [Majapahit Rajasa] a. a. 1429
eured: <13> Bhre Daha II ? (Wangsa Rajasa) [?] a. a. 1426
eured: <14!> Kusumawardhani / Bhre Kabalan I [Majapahit Rajasa] a. a. 1429
eured: <41!> Bhre Mataram [Wijayarajasa]
titl: 1389 - 1429, Prabu Majapahit V bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama
Wikramawardhana adalah raja kelima Majapahit yang memerintah berdampingan dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu Kusumawardhani putri Hayam Wuruk, pada tahun 1389-1427.

Silsilah Wikramawardhana dan Kusumawardhani Wikramawardhana dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana.

Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori. Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah menikah. Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil. Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja. Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya. Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja. Kedudukan sebagai pewaris takhta kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi.

Awal Pemerintahan Wikramawardhana dan Kusumawardhani Saat Nagarakretagama ditulis tahun 1365, Kusumawardhani masih menjadi putri mahkota sekaligus Bhre Kabalan. Sedangkan Wikramawardhana menjabat Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata.

Menurut Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk tahun 1389, Kusumawardhani dan Wikramawardhana naik takhta dan memerintah berdampingan. Jabatan Bhre Mataram lalu dipegang oleh selir Wikramawardhana, yaitu putri Bhre Pandansalas alias Ranamanggala. Ibu Bhre Mataram adalah adik Wikramawardhana sendiri yang bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan. Jadi, Wikramawardhana menikahi keponakannya sendiri sebagai selir.

Rajasakusuma sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre Kabalan menggantikan ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton. Pada tahun 1398 Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih menggantikan Gajah Enggon yang meninggal dunia. Berita dalam Pararaton ini harus ditafsirkan sebagai “mengusulkan”, bukan “melantik”. Rajasakusuma meninggal tahun 1399. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung. Kedudukan putra mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dan Bhre Mataram. Pada tahun 1400 Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai pendeta. Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit.

Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa prasasti Katiden (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan suci.
192/5 <8+10> Prabu Lembuamisani Nata / Bhre Hyang Wisesa (Raden Putra / Bhre Wirabhumi) [Majapahit Rajasa]
eured: <20!> Nagarawardhani [Majapahit Rajasa] a. a. 1400
eured:
titl: 1398
Silsilah Bhre Wirabhumi

Perang Paregreg adalah perang yang terkait dengan tokoh Bhre Wirabhumi.

Nama asli Bhre Wirabhumi tidak diketahui. Menurut Pararaton, ia adalah putra Hayam Wuruk dari selir, dan menjadi anak angkat Bhre Daha istri Wijayarajasa, yaitu Rajadewi. Bhre Wirabhumi kemudian menikah dengan Bhre Lasem sang Alemu, putri Bhre Pajang (adik Hayam Wuruk).

Menurut Nagarakretagama, istri Bhre Wirabhumi adalah Nagarawardhani putri Bhre Lasem alias Indudewi. Indudewi adalah putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya dari pada Pararaton, karena ditulis pada saat Bhre Wirabhumi masih hidup.

Jadi kesimpulannya, Bhre Wirabhumi lahir dari selir Hayam Wuruk, menjadi anak angkat Rajadewi (bibi Hayam Wuruk), dan kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi.

Dalam Perang Paregreg; Adalah perang antara Majapahit istana barat yang dipimpin Wikramawardhana, melawan istana timur yang dipimpin Bhre Wirabhumi. Perang ini terjadi tahun 1404-1406 dan menjadi penyebab utama kemunduran Majapahit.

Menurut Pararaton, Wikramawardhana kembali menjadi raja, karena Kusumawardhani meninggal dunia. Kusumawardhani dicandikan di Pabangan, bernama Laksmipura.

Pada tahun 1401 Wikramawardhana berselisih dengan Bhre Wirabhumi, saudara tiri Kusumawardhani. Perselisihan antara penguasa Majapahit Barat dan Majapahit Timur itu memuncak menjadi perang saudara tahun 1404, yang disebut perang Paregreg.

Pada tahun 1406 pasukan istana barat dipimpin Bhre Tumapel menghancurkan istana timur. Bhre Wirabhumi tewas di tangan Raden Gajah alias Bhra Narapati. Wikramawardhana kemudian memboyong Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi sebagai selir.
203/5 <11+156!+10!+11> Nagarawardhani [Majapahit Rajasa]
Rajasawardhana alias Bhre Matahun

Menurut Nagarakretagama, Rajasawardhana alias Bhre Matahun adalah suami dari Indudewi alias Bhre Lasem putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Dari perkawinan itu, lahir Nagarawardhani yang menikah dengan Bhre Wirabhumi putra Hayam Wuruk, raja Majapahit saat itu (1351-1389).

Pejabat Bhre Matahun yang identik dengan Rajasawardhana dalam Pararaton adalah Raden Larang. Istrinya adalah adik kandung Hayam Wuruk. Perkawinan tersebut tidak menghasilkan keturunan, karena istri Bhre Wirabhumi versi Pararaton adalah putri Raden Sumana alias Bhre Paguhan, bukan putri Raden Larang.

Dalam hal ini, berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya, karena ditulis tahun 1365, saat Rajasawardhana masih hidup.
144/5 <8+9!> Kusumawardhani / Bhre Kabalan I [Majapahit Rajasa]
Kusumawardhani wafat pada tahun saka 1351 atau 1429M. Wafatnya maharani Kusumawardhani termuat atau diberitakan Serat Pararaton pada bagian lain. Serat Pararaton menulis: Bhre Wengker mokta dhinarmeng Sumengka. Bhra Hyang Wisesa mokta dhinarmeng ring Lalangon, bhisekaning dharma ring Paramawisesapura. Bhra prabhu stri mokta i caka rupa nila agni sitangsu, 1351c". Terjemahannya: "Bhre Wengker wafat dan didarmakan di Sumengka. Bhra Hyang Wisesa wafat dan didarmakan di Lalangon dengan candi pendarmaan bernama Paramawisesapura. Bhra Prabhu Stri wafat pada tahun saka 1351/1429M.
125/5 <10+156!> Bhre Kertabhumi/ Wijaya Parakramawardhana / Raden Alit (Brawijaya V) [Majapahit Rajasa]
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Taolenn

Bhre Kertabhumi / Brawijaya V

Bre Kertabhumi / Prabu Brawijaya, atau kadang disebut Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang lahir sekitar tahun 1413 M (Kalkulasi penanggalan berdasarkan kelahiran Raden Patah menurut Kronik Cina pada tahun 1455 Raden Patah, dimana Bre Kertabhumi pada saat itu belum menjadi raja karena penerus 2 generasi Kerajaan Majaphit dipegang oleh 2 Pamannya selama 15 tahun. Bhre Kertabhumi mulai memerintah tahun 1468 dan wafat pada tahun 1478 M. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri, setelah berhasil menaklukan Bhre Kertabhumi.


Daftar isi

  1. Kisah hidup
  2. Asal usul nama
  3. Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
  4. Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
  5. Teori keruntuhan Majapahit
  6. Pemakaian nama Brawijaya
  7. Lihat pula
  8. Kepustakaan

Kisah hidup

Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya[rujukan?] yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri Arya Damar.[1]

Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Champa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.

Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan.

Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:

  1. Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
  2. Prabu Brakumara
  3. Prabu Brawijaya I
  4. Ratu Ayu Kencanawungu
  5. Prabu Brawijaya II
  6. Prabu Brawijaya III
  7. Prabu Brawijaya IV
  8. dan terakhir, Prabu Brawijaya V

Sering terjadi kesalah pahaman dgn menganggap Brawijaya sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan, dan memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha.


Silsilah Raja-raja Majapahit

Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.

Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[1].


Asal usul nama

Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.

Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya.[rujukan?] Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.

Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.

Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara.[rujukan?] Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.

Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.

Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa[rujukan?] sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun "ditempatkan" sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.

Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan masyarakat Jawa[rujukan?] berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.

Bhre Kertabhumi dalam Pararaton

Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis: Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400. Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu.[rujukan?] Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.

Teori yang cukup populer[rujukan?] menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.

Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik[rujukan?] dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.

Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina

Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang.

Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.

Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.

Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.

Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.

Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.

Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.

Teori keruntuhan Majapahit

Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain: Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melalui Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer dalam masyarakat Jawa. Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Raden Patah. Setelah itu Majapahit menjadi bawahan Kesultanan Demak. Teori ini muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang. Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit. Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478.

Pemakaian nama Brawijaya

Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur.

Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Museum Brawijaya di kota Malang dan Stadion Brawijaya di Kediri. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.

Kepustakaan

Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Babad Tanah Jawi. 2007. (terjemahan). Yogyakarta: Narasi H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
136/5 <8> Maharaja Suryanata (Raden Putra) [Hikayat Banjar I]
Sułtani Banjarmasinu [edytuj]
   * Lembu Mangkurat Rar Raden Surjanata (władca (pangeran) Banjarmasinu pod zwierzchnością Majapahitu na terenie Borneo Zachodniego przed 1450-1460)
   * Tunjung Buih (ok. 1460-1470)
   * Surjanata I (ok. 1470-1480)
   * Ganggawangsa (ok. 1480-1490) [syn]
   * Kalungsu (ok. 1490-1495) [synowa]
   * Sakar Sungsang (ok. 1495-1500) [syn]
   * Sukarama (ok. 1500-?) [syn]
   * Zależność od Demaku ok. 1500-1582
   * Pakso(?) [syn]
   * Panjang(?) [brat]
   * Surjan Szach (po 1500-1540; sułtan od 1520) [bratanek]
   * Rahmat Allah (ok. 1540-1580) [syn]
   * Hidajat Alah I (ok. 1580-1612) [syn]
   * Zależność od Mataramu 1582-1667
   * Mustain Billah (ok. 1612-1642) [syn]
   * Inajat Allah (ok. 1642-?) [syn]
   * Said Allah I (?-1660) [syn]
   * Amr Allah (1660; usunięty) [syn]
   * Riajat Allah (1660-1663) [syn Mustaina]
   * Surjanata II (1663-1679) [syn Inajat Allaha]
   * Protektorat holenderski 1667/1786-1809
   * Dipati (koregent ?-1679) [syn]
   * Amr Allah (2-gie panowanie 1679-1700/12)
   * Tahmid Allah I (1700/12-1717) [syn]
   * Kusuma Dilaga (1717-1730) [brat]
   * Hamid Allah (1730-1734) [syn Tahmid Allaha I]
   * Tamdżid Allah I (1734/47-1756) [brat]
   * Muhammad Amin Allah (1756-1780/5) [syn Hamid Allaha]
   * Muhammad Tahmid Allah II (1780/5-1808) [syn]
   * Sulajman Said Allah II (1808-1825) [syn]
   * Protektorat holenderski 18??-1860
   * Adam al-Wasih Billah (1825-1857) [syn]
   * Tamdżid Allah II (1857-1859; abdykował) [syn nieślubny]
   * Hidajat Allah II (1859-1862) [w 4-tym pokoleniu potomek Amin Allaha]
   * Tamdżid Allah III (1862-1905) [syn]
* Holenderskie Indie Wschodnie podbijają Banjarmasin 1905
157/5 <6+?> Nagarawardhani ? (Bhre Wirabhumi I/Bhre Lasem II) [Majapahit Rajasa] 168/5 <6+?> Surawardhani Bhre Pawanawan (Rajasawardhani) [Majapahit Rajasa] 179/5 <6+?> Wikramawardhana Bhre Lasem Sang Alemu ? (Majapahit) [?] 2110/5 <7+12> Surawardhani / Bhre Pawanuhan (Bhre Kahuripan) [Majapahit Rajasa]
Silsilah Bhatara Hyang Parameswara

Menurut Pararaton, nama asli Parameswara adalah Aji Ratnapangkaja. Ibunya bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan, adik Wikramawardhana. Ayahnya bernama Raden Sumirat yang menjadi Bhre Pandansalas, bergelar Ranamanggala.

Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Surawardhani masih menjabat Bhre Pawanuhan dan belum menikah. Gelar Bhre Kahuripan saat itu masih dijabat neneknya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Menurut Pararaton, sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi dan Surawardhani, jabatan Bhre Kahuripan kemudian diwarisi Ratnapangkaja.

Ratnapangkaja memiliki tiga saudara perempuan, yaitu Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ketiganya masing-masing secara unik dinikahi oleh ayah, anak, dan cucu, yaitu Wikramawardhana, Bhre Tumapel, dan Bhre Wengker.

Bhre Wengker dari istri lain, memiliki putri Bhre Jagaraga dan Bhre Pajang, yang keduanya dinikahi Ratnapangkaja. Silsilah ini semakin rumit ketika Ratnapangkaja menikahi Suhita, putri Wikramawardhana.
2211/5 <10+11> Badra Wardhana / Bhre Lasem [Majapahit Rajasa]
2312/5 <10+156!> Raden Mertawijaya / Bhre Pamotan Karo [Majapahit Rajasa]
2413/5 <10+156!> Raden Alit Adaningkung / Bhre Kahuripan Kapitu [Bhre Kahuripan VII]
2514/5 <10+156!> Raden Angkawijaya / Bhre Mataram Kapanca [Bhre Mataram V]
2615/5 <8> Bre Awaling [?]

6

301/6 <12+20+?> Bondan Kejawen / Rahaden Bondhan Kejawan Aryo Lembu Peteng (Ki Ageng Tarub 3) [Brawijaya V]
ganedigezh: Jurumertani sudah pada waktunya untuk mengirim Pajak Hasil Bhumi ke Kerajaan, dalam perjalanannya di ikuti oleh Bondan, yang tidak diketahui Jurumertani, Sesampainya di Kerajaan menyerahkan Pajakhasil Bumi, kemudian menghadap sang Prabu, Namun mendadak terdengan suara Gong Berbunyi, mengejutkan Sang Prabu dan seluruh isi kerajaan termasuk Jurumertani, setelah dikejar tertangkaplah seorang anak "Bondan", dan diserahkan pada sang Prabu, melihat kejadian itu Jurumertani terbelalak KAGET, dan menghampiri Prabu sambil berbisik Itu adalah Putera-sang Prabu. Sang Prabu menatap wajah si Bondan dengan seksama, kemudian penasehat spirituil Kerajaan menhampiri Sang Prabu berkata, Anak turun dari Anak itu (Bondan) akan menjadi Raja-raja ditanah jawa
ganedigezh: Petilasan Makam dari Bondan Kejawan ada : 3 Tempat yaitu : 1. Desa Taruban-Purwodadi, dari kota Purwodadi ke arah Blora Km 13 ada perempatan belok Kanan 2km ada Situs yang dikelola oleh Kasunanan Surakarto, dsisin ada makam Ki Ageng Tarub I, dan R Bondan Kejawan ( Ki Ageng Tarub II) 2. 1 Km dari sini ( Ds Taruban ) arah ke perempatan ada Tandingan seolah-olah Makam Bondan Kejawan 3. Sebelah barat Kota Yogya ( Jl Wates dkt SPBU) ada dusun Kejawen disana ada makan Bondan Kejawan Pahlawan Majapahit
eured: <26> Retno Dewi Nawangsih [Al Hasani]
eured:
eured: <26!> Retno Dewi Nawangsih [Al Hasani]
392/6 <18+14!> Rajasakusuma / Hyang Wekasing Sukma [Majapahit Rajasa]
marvidigezh: Putera Mahkota. Wafat 1427 sebelum menjadi raja
513/6 <12+17> 17. Puteri Hadi / Putri Ratna Marsandi [Brawijaya V]
ganedigezh: anak No 17 dari Bhre Kertabhumi ( Brawidjaja V ), suami dari Juru Paniti
eured: <27> Juru Paniti [?]
534/6 <12> 11. Raden Sudjana / Lembu Niroto [Brawijaya V]
titl: Adipati Blambangan
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
0.Geneology Kasunanan Surakarta Hadiningrat, disusun-dipost oleh : HR Widodo AS
1.Buku Silsilah Trah Pangeran Lanang Dangiran - Silsilah Pangeran Lanang Dangiran ( Ki Ageng Brondong ),Bab Asal Usul Keluarga Kasepuhan Kanoman Surabaya, 142 halaman (Cetakan). Diselesaikan di Surabaya, Senen Kliwon,Tanggal 01 Agustus 1966 atau 14 Bakdo-Mulud 1898. Oleh Raden Panji Ario Makmoer, beralamat di Kapas Krampung No:90, Surabaya. Penasihat:
 -Raden Adipati Arya Nitiadiningrat (Bupati Surabaya)
 -Raden Tumenggung Arya Notoadikoesoemo (Zainal Fattah), Bupati Pamekasan-Madura;
 -Raden Ngabei Kromodjoyoadirono/R.B.Yasin (Asisten Wedana) 
   
2.Buku Silsilah Keluarga K5 (Keluarga Kasepuan_ Kanoman_Kromodjayan_Kesambongan) Surabaya - Bab I s/d Bab IX, terdiri     dari  49 Halaman, (Cetakan) Oleh :
 -Raden Tumenggung Arya Notoadikoesoemo (Zainal Fattah), Bupati Pamekasan-Madura; , Surabaya (saat itu)
 -Dan ditulis kembali oleh Mas Ngabei Soekotjo Purbokusumo, Surabaya 06 Desember 1956;
3.Buku Silsilah Keluarga Kromodjayan Mojokerto - Silsilah Kromodjayan, Pakem Kilat trah Boto Putih, trah Kasepuhan Surabaya, trah Kanoman Surabaya, trah Kasepuhan Sidoarjo, trah Sambongan,trah Nitidingrat_Pasuruan, trah Notodiningrat_Bangil Pasuruan, trah Bustaman_Semarang, trah Puspunegoro Gresik, Han Dinasti, trah Tjitrosoma Tuban, trah Batoro Katong_Ponorogo, trah Suryowinoto Gresik., 102 Halaman(Tulisan Tangan). Oleh Raden Ngabei Kromodjoyoadirono (Raden Bagus Yasin) Diselesaikan di Surabaya tanggal. 08 Juni 1980.
4. Buku Asal Silah - Kumpulan Silsilah Trah (Pengeran Lanang Dangiran, Sambongan, Kasepuhan Sidoarjo, Tjitrosoma Tuban, Batoro Katong Ponorogo). Oleh Raden Anang Soekarso, 66 halaman; diselesaikan di Surabaya 21 Agustus 2008 dan di edit ulang 18 Sya'ban 1429 H.


-
545/6 <12> Raden Jaka Dhalak [Brawijaya]
ganedigezh: Diputus : 25677
566/6 <12+14> Hario Dewa Ketul [Brawijaya V]
micher: Bali, Adipati di Bali
867/6 <12+14> Raden Jaka Lancing / Banyakpatra / Harya Surengbala / Panembahan Madiretna [Brawijaya V]
ganedigezh: Grade #1 Brawijaya V
928/6 <12+14> Raden Jaka Lawu [Brawijaya V]
marvidigezh: Java, Indonesia, Mount Lawu
1089/6 <12+14> Raden Jaka Tangkeban / ? (Raden Anengwulan/Wanengwulan) [Brawijaya V]
marvidigezh: Gunung Kidul
10910/6 <12+14> Raden Jaka Buras / Raden Palingsingan [Brawijaya V]
marvidigezh: Gunung Kidul
12711/6 <12+14> Raden Jaka Dalun / Raden Gagak Pranolo (Raden Jaka Dalem) [Brawijaya V]
marvidigezh: Solo
13412/6 <12+14> Raden Jaka Panekti / Raden Lawangsari (Raden Jaka Tawangsari) [Brawijaya V]
marvidigezh: Taruwongso, Sukoharjo
4013/6 <18+13> Dewi Suhita / Bhre Daha II (Dyah Ayu Kencana Wungu) [Majapahit Rajasa]
eured: <42!> Hyang Prameswara / Bhre Kahuripan (Aji Ratnapangkaja) [Wijayarajasa]
titl: 1429 - 1447, Rani Majapahit V bergelar Prabu Stri Suhita
marvidigezh: 1447
Prabu Stri Suhita adalah raja wanita Majapahit yang memerintah tahun 1427-1447, bersama suaminya yang bernama Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja.

Silsilah Bhatara Hyang Parameswara Menurut Pararaton, nama asli Parameswara adalah Aji Ratnapangkaja. Ibunya bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan, adik Wikramawardhana. Ayahnya bernama Raden Sumirat yang menjadi Bhre Pandansalas, bergelar Ranamanggala.

Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Surawardhani masih menjabat Bhre Pawanuhan dan belum menikah. Gelar Bhre Kahuripan saat itu masih dijabat neneknya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Menurut Pararaton, sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi dan Surawardhani, jabatan Bhre Kahuripan kemudian diwarisi Ratnapangkaja.

Ratnapangkaja memiliki tiga saudara perempuan, yaitu Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ketiganya masing-masing secara unik dinikahi oleh ayah, anak, dan cucu, yaitu Wikramawardhana, Bhre Tumapel, dan Bhre Wengker.

Bhre Wengker dari istri lain, memiliki putri Bhre Jagaraga dan Bhre Pajang, yang keduanya dinikahi Ratnapangkaja. Silsilah ini semakin rumit ketika Ratnapangkaja menikahi Suhita, putri Wikramawardhana.

[sunting] Hubungan Suhita dengan Bhre Daha Pararaton tidak menyebut secara jelas nama ibu Suhita. Silsilah Suhita muncul sebelum pemberitaan Perang Paregreg. Hal ini menimbulkan kesan, seolah-olah Suhita sudah lahir dan menikah dengan Ratnapangkaja sebelum perang terjadi.

Menurut Pararaton, Ratnapangkaja bingung harus berpihak pada siapa ketika perang meletus. Apabila ia sudah menikahi Suhita tentu ia akan langsung memihak Wikramawardhana, mengingat Pararaton tidak secara tegas menyebutkan kalau ibu Suhita adalah putri Bhre Wirabhumi.

Penulis Pararaton memang sering mengabaikan urutan peristiwa secara kronologis. Misalnya, pemberontakan Ranggalawe disebut terjadi tahun 1295, tapi baru diberitakan setelah Jayanagara naik takhta (1309).

Seputar pemberitaan Bhre Wirabhumi dijumpai adanya tiga tokoh yang menjabat Bhre Daha. Yang pertama adalah ibu angkat Bhre Wirabhumi yang wafat sebelum perang meletus. Bhre Daha yang kedua adalah yang diboyong Wikramawardhana setelah perang Paregreg dan meninggal sebelum peristiwa bencana kelaparan terjadi tahun 1426. Sedangkan Bhre Daha yang ketiga naik takhta menggantikan Wikramawardhana dan menghukum mati Raden Gajah (pembunuh Bhre Wirabhumi).

Bhre Daha yang pertama dipastikan adalah Rajadewi putri bungsu Raden Wijaya. Menurut Nagarakretagama, Bhre Wirabhumi dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi.

Dari perkawinan tersebut lahir seorang putri yang menjabat Bhre Daha sepeninggal Rajadewi. Bhre Daha yang kedua inilah yang diboyong Wikramawardhana sebagai selir setelah kekalahan Bhre Wirabhumi tahun 1406.

Dari perkawinan tersebut, lahir Suhita sebagai Bhre Daha menggantikan ibunya yang wafat menjelang bencana kelaparan 1426. Sepeninggal Wikramawardhana, Bhre Daha alias Suhita naik takhta tahun 1427. Usianya saat itu dapat diperkirakan sekitar 20 tahun.

[sunting] Pemerintahan Suhita Suhita memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja bergelar Bhatara Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre Wirabhumi dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati. Dari berita ini terasa masuk akal kalau hubungan Bhre Wirabhumi dan Suhita adalah kakek dan cucu, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton.

Nama Suhita juga muncul dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta, yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan Arya Teja, kakek Sunan Kalijaga.

Pada tahun 1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula. Pasangan suami istri itu dicandikan bersama di Singhajaya.

Karena tidak memiliki putra mahkota, Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.
4614/6 <12+18> Jaka Dillah / Arya Damar (Raja Palembang) [Brawijaya V]
Ayah Tiri Raden Patah

Arya Damar adalah pahlawan legendaris sehingga nama besarnya selalu diingat oleh masyarakat Jawa. Dalam naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi, tokoh Arya Damar disebut sebagai ayah tiri Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak.

Dikisahkan ada seorang raksasa wanita ingin menjadi istri Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad). Ia pun mengubah wujud menjadi gadis cantik bernama Endang Sasmintapura, dan segera ditemukan oleh patih Majapahit (yang juga bernama Gajah Mada) di dalam pasar kota. Sasmintapura pun dipersembahkan kepada Brawijaya untuk dijadikan istri.

Namun, ketika sedang mengandung, Sasmintapura kembali ke wujud raksasa karena makan daging mentah. Ia pun diusir oleh Brawijaya sehingga melahirkan bayinya di tengah hutan. Putra sulung Brawijaya itu diberi nama Jaka Dilah.

Setelah dewasa Jaka Dilah mengabdi ke Majapahit. Ketika Brawijaya ingin berburu, Jaka Dilah pun mendatangkan semua binatang hutan di halaman istana. Brawijaya sangat gembira melihatnya dan akhirnya sudi mengakui Jaka Dilah sebagai putranya.

Jaka Dilah kemudian diangkat sebagai bupati Palembang bergelar Arya Damar. Sementara itu Brawijaya telah menceraikan seorang selirnya yang berdarah Cina karena permaisurinya yang bernama Ratu Dwarawati (putri Campa) merasa cemburu. Putri Cina itu diserahkan kepada Arya Damar untuk dijadikan istri.

Arya Damar membawa putri Cina ke Palembang. Wanita itu melahirkan putra Brawijaya yang diberi nama Raden Patah. Kemudian dari pernikahan dengan Arya Damar, lahir Raden Kusen. Dengan demikian terciptalah suatu silsilah yang rumit antara Arya Damar, Raden Patah, dan Raden Kusen.

Setelah dewasa, Raden Patah dan Raden Kusen meninggalkan Palembang menuju Jawa. Raden Patah akhirnya menjadi raja pertama Kesultanan Demak, dengan bergelar Panembahan Jimbun.

Seputar Tokoh Swan Liong Kisah hidup Raden Patah juga tercatat dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang. Dalam naskah itu, Raden Patah disebut dengan nama Jin Bun, sedangkan ayah tirinya bukan bernama Arya Damar, melainkan bernama Swan Liong.

Swan Liong adalah putra raja Majapahit bernama Yang-wi-si-sa yang lahir dari seorang selir Cina. Mungkin Yang-wi-si-sa sama dengan Hyang Wisesa atau mungkin Hyang Purwawisesa. Kedua nama ini ditemukan dalam naskah Pararaton.

Swan Liong bekerja sebagai kepala pabrik bahan peledak di Semarang. Pada tahun 1443 ia diangkat menjadi kapten Cina di Palembang oleh Gan Eng Cu, kapten Cina di Jawa.

Swan Liong di Palembang memiliki asisten bernama Bong Swi Hoo. Pada tahun 1445 Bong Swi Hoo pindah ke Jawa dan menjadi menantu Gan Eng Cu. Pada tahun 1451 Bong Swi Hoo mendirikan pusat perguruan agama Islam di Surabaya, dan ia pun terkenal dengan sebutan Sunan Ampel.

Swan Liong di Palembang memiliki istri seorang bekas selir Kung-ta-bu-mi raja Majapahit. Mungkin Kung-ta-bu-mi adalah ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Dari wanita itu lahir dua orang putra bernama Jin Bun dan Kin San.

Pada tahun 1474 Jin Bun dan Kin San pindah ke Jawa untuk berguru kepada Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Tahun berikutnya, Jin Bun mendirikan kota Demak sedangkan Kin San mengabdi kepada Kung-ta-bu-mi di Majapahit.

Tidak diketahui dengan pasti sumber mana yang digunakan oleh pengarang kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong di atas. Kemungkinan besar si pengarang pernah membaca Pararaton sehingga nama-nama raja Majapahit yang ia sebutkan mirip dengan nama-nama raja dalam naskah dari Bali tersebut. Misalnya, si pengarang kronik tidak menggunakan nama Brawijaya yang lazim digunakan dalam naskah-naskah babad.

Jika dibandingkan dengan Babad Tanah Jawi, isi naskah kronik Cina Sam Po Kong terkesan lebih masuk akal. Misalnya, ibu Arya Damar adalah seorang raksasa, sedangkan ibu Swan Liong adalah manusia biasa. Ayah Arya Damar sama dengan ayah Raden Patah, sedangkan ayah Swan Liong dan Jin Bun berbeda.

[sunting] Arya Dilah dari Palembang Lain lagi dengan naskah dari Jawa Barat, misalnya Hikayat Hasanuddin atau Sejarah Banten. Naskah-naskah tersebut menggabungkan nama Arya Damar dengan Jaka Dilah menjadi Arya Dilah, yang juga menjabat sebagai bupati Palembang. Selain itu, nama Arya Dilah juga diduga berasal dari nama Arya Abdilah.

Dikisahkan ada seorang perdana menteri dari Munggul bernama Cek Ko Po yang mengabdi ke Majapahit. Putranya yang bernama Cu Cu berhasil memadamkan pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Raja Majapahit sangat gembira dan mengangkat Cu Cu sebagai bupati Demak, bergelar Molana Arya Sumangsang.

Dengan demikian, Arya Sumangsang berhasil menjadi pemimpin Demak setelah mengalahkan Arya Dilah. Kisah dari Jawa Barat ini cukup unik karena pada umumnya, raja Demak disebut sebagai anak tiri bupati Palembang.

Sementara itu, berita tentang pemberontakan Palembang ternyata benar-benar terjadi. Kronik Cina dari Dinasti Ming mencatat bahwa pada tahun 1377 tentara Majapahit berhasil menumpas pemberontakan Palembang.

Rupanya pengarang naskah di atas pernah mendengar berita pemberontakan Palembang terhadap Majapahit. Namun ia tidak mengetahui secara pasti bagaimana peristiwa itu terjadi. Pemberontakan Palembang dan berdirinya Demak dikisahkannya sebagai satu rangkaian, padahal sesungguhnya, kedua peristiwa tersebut berselang lebih dari 100 tahun.
3815/6 <18+13> Kertawijaya / Brawijaya I (Bhre Tumapel III) [Majapahit Rajasa]
eured: <30> Jayawardhani Dyah Jayeswari / Bhre Daha Kapanca [Bhre Daha V]
titl: 1447 - 1451, Prabu Majapahit VII bergelar Sri Maharaja Wijaya Parakrama Wardhana (Brawijaya I)
marvidigezh: 1451
Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana.

Kertawijaya dalam Pararaton Menurut Pararaton, Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana dari selir. Putra Wikramawardhana yang lain adalah Hyang Wekasing Sukha, Bhre Tumapel, dan Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjadi Bhre Tumapel, yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.

Kertawijaya naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel.

Kertawijaya wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja digantikan Rajasawardhana

Hubungan antara Rajasawardhana dengan Kertawijaya tidak disebut secara tegas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat yang mengatakan kalau Rajasawardhana naik takhta setelah membunuh Kertawijaya. Pendapat lain mengatakan Rajasawardhana adalah putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu sebagai Dyah Wijayakumara. Identifikasi Kertawijaya dengan Brawijaya Brawijaya adalah nama raja Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat yang sangat populer dalam masyarakat Jawa.

Dikisahkan Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati dari negeri Campa yang beragama Islam. Brawijaya turun takhta tahun 1478 karena dikalahkan putranya dari selir, yang bernama Raden Patah.

Di Mojokerto ditemukan situs makam putri Campa yang diyakini sebagai istri Brawijaya. Batu nisan makam tersebut berangka tahun 1448, jatuh pada masa pemerintahan Kertawijaya.

Hal ini menimbulkan pendapat bahwa, tokoh Brawijaya identik dengan Kertawijaya. Bahkan, dalam bagan silsilah yang ditemukan pada pemakaman Ratu Kalinyamat di Jepara, ditulis nama Kertawijaya sebagai nama ayah Raden Patah.

Tokoh lain yang dianggap identik dengan Brawijaya adalah Bhre Kertabhumi putra Rajasawardhana, yang namanya terdapat dalam penutupan naskah Pararaton. Seringkali Bhre Kertabhumi disebut Brawijaya V, sedangkan Kertawijaya disebut Brawijaya I.

Identifikasi Kertawijaya dengan Brawijaya berdasarkan batu nisan putri Campa bertentangan dengan prasasti Waringin Pitu (1447). Menurut prasasti tersebut, nama permaisuri Kertawijaya bukan Ratu Dwarawati, melainkan Jayeswari.

Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, putri Campa yang dimakamkan di Mojokerto bukan istri raja Majapahit, melainkan istri Ma Hong Fu, seorang duta besar Cina untuk Jawa
2816/6 <12+20> Raden Patah Adipati Jinbun / Sultan Bintoro Demak I [Bra.5.13] (Lembu Kenogo / Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama) [Brawijaya V]
ganedigezh: 1455, Palembang
eured: <31> 11.1.5. Raden Siti Murtasimah / Asyiqah [Ampel]
eured: <32> Puteri Bupati Jipang Panolan [Jipang]
eured: <33> Putri Dari Randu Sanga [Randu Sanga]
titl: 1475 - 1518, Raja Demak Ke 1 (1500-1518), "Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun"
marvidigezh: 1518, Demak
Władcy Demaku
   * Patah (władca (panembahan senapati dżimbun) Demaku (Bintoro) pod zwierzchnością Majapahitu na terenie Jawy Środkowej 1478/1500-1490/1511)
   * Sabrang Lor (1490/1511-1495/1518)
   * Junus (1518-1521; zrzucił zwierzność Majapahitu 1520) [syn Pataha]
   * Trengganu (sułtan 1521-1539) [brat]
   * Prawata (1539/46) [syn]
   * Pangiri (władca (arja) 1547) [syn]
   * Penengsan (uzurpator 1547-?)
   * Karebet (władca (pangeran) ?-1582) [zięć]
* Mataram podbija Demak 1582
2917/6 <12+16> 21. Bathara Katong / Lembu Kanigoro (Raden Joko Piturun) [Brawijaya V]
eured: <34> Niken Gandani ? (Ki Ageng Kutu) [?]
titl: 11 Eost 1496, Ponorogo, Adipati Ponorogo I
== Bathara Katong ==

Bathara Katong adalah pendiri Kabupaten Ponorogo dan juga merupakan Adipati pertama Ponorogo. Bathara Katong merupakan utusan Kerajaan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo.


Taolenn

Daftar isi

1 Asal-usul Bathara Katong
2 Pertarungan dengan Ki Ageng Kutu
3 Pendirian Ponorogo
4 Pemakaian nama Bathara Katong
5 Lihat pula
6 Pranala luar


Asal-usul Bathara Katong

Bathara Katong, memiliki nama Asli Lembu Kanigoro, adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya atau Bhre Kertabhumi dari selirnya yaitu Putri Campa yang beragama Islam. Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Bathara Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).

Mulai redupnya kekuasaan Majapahit dan saat kakak tertuanya "Lembu Kenongo" yang berganti nama menjadi Raden Patah mendirikan kesultanan Demak Bintoro, Lembu Kanigoro mengikut jejak kakaknya untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak.


Pertarungan dengan Ki Ageng Kutu

Prabu Brawijaya pada masa hidupnya berusaha diislamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya. Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk diislamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kutu, Ki Ageng Kutu kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan Reog tidak lain merupakan simbol kritik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak).

Upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat Basis di Ponorogo (Wengker) dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit dan kasultanan Demak. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu. Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan Bathara Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Bathara Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Hindu, Budha, animisme dan dinamisme. Setelah Bathara Katong memasuki Ponorogo terjadilah pertarungan antara Bathara Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Bathara Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Bathara Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri. Niken Gandini dimanfaatkan Bathara Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringinanom Sambit Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu disebut dengan Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Bathara Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini mungkin dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah Ki Ageng Kutu menghilang, Bathara Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara.


Pendirian Ponorogo

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Bathara Katong. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena Bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Setelah hutan selesai dibabat, bangunan-bangunan didirikan sehingga penduduk pun berdatangan. Setelah istana kadipaten didirikan, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, Niken Sulastri ke istana kadipaten, sedang adiknya, Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah Babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Bathara Katong kemudian menjadi Adipati di Ponorogo. Menurut Handbook of Oriental History hari wisuda Bathara Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai dihilangkan dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Para punggawa dan anak cucu Bathara Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.


Pemakaian nama Bathara Katong

Nama Bathara Katong diabadikan sebagai nama stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo.
2718/6 <12+17> 3. Dyah Hayu Ratna Pembayun / Nyai Handayaningrat Pengging [Brawijaya V] 3119/6 <18+41!> Bhre Tumapel II [Majapahit Rajasa] 3220/6 <13+?> Maharaja Suryaganggawangsa (Raden Suryaganggawangsa) [Hikayat Banjar I] 3321/6 <13+?> Pangeran Suryawangsa (Raden Suryawangsa) [Hikayat Banjar I] 3422/6 <16+23> Bhre Lasem V / Dewi Kasuma Sari [Majapahit Rajasa] 3523/6 <15+21> Bhre Pakembangan [Bhre Wirabhumi]
3624/6 <17> Kertawijaya (BHRE Tumapel III) [Majapahit]
3725/6 <17> Prabu Stri Suhita [Majapahit]
4126/6 <16+23> Bhre Mataram [Wijayarajasa]
Silsilah Wikramawardhana dan Kusumawardhani

Wikramawardhana dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana.

Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori. Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah menikah. Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil.

Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja.

Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya.

Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja.

Kedudukan sebagai pewaris takhta kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi.
4227/6 <21+25> Hyang Prameswara / Bhre Kahuripan (Aji Ratnapangkaja) [Wijayarajasa]
Silsilah Bhatara Hyang Parameswara

Menurut Pararaton, nama asli Parameswara adalah Aji Ratnapangkaja. Ibunya bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan, adik Wikramawardhana. Ayahnya bernama Raden Sumirat yang menjadi Bhre Pandansalas, bergelar Ranamanggala.

Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Surawardhani masih menjabat Bhre Pawanuhan dan belum menikah. Gelar Bhre Kahuripan saat itu masih dijabat neneknya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Menurut Pararaton, sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi dan Surawardhani, jabatan Bhre Kahuripan kemudian diwarisi Ratnapangkaja.

Ratnapangkaja memiliki tiga saudara perempuan, yaitu Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ketiganya masing-masing secara unik dinikahi oleh ayah, anak, dan cucu, yaitu Wikramawardhana, Bhre Tumapel, dan Bhre Wengker.

Bhre Wengker dari istri lain, memiliki putri Bhre Jagaraga dan Bhre Pajang, yang keduanya dinikahi Ratnapangkaja. Silsilah ini semakin rumit ketika Ratnapangkaja menikahi Suhita, putri Wikramawardhana.
4328/6 <21+25> Bhre Mataram [Ranamanggala - Bhre Pandansalas]
4429/6 <21+25> Bhre Lasem [Ranamanggala - Bhre Pandansalas]
4530/6 <21+25> Bhre Matahun [Ranamanggala - Bhre Pandansalas]
4731/6 <15+21> Bhre Lasem III (Putri Bhre Wirabhumi) [Bhre Wirabhumi]
4832/6 <15+21> Bhre Matahun (Wirabhumi) [Bhre Wirabhumi]
4933/6 <12+16> Adipati Lowano [Brawijaya V]
5034/6 <12+17> Pangeran Panggung / Wali Joko [Brawijaya V]
== WALI JOKO/Raden Panggung ==


Wali Joko yang memiliki nama kecil Jaka Suwirya adalah kakak-beradik dengan Sunan Katong yang konon dimakamkan di Kaliwungu. Wali Joko yang di saat mudanya bernama Pangeran Panggung, merupakan putra bungsu Prabu Kertabumi atau Prabu Brawijaya V dengan Permaisuri Dewi Murdaningrum, seorang putri dari Kerajaan Campa (ada yang menyebutkan Kamboja atau Thailand saat ini).

Berdasarkan penelusuran sejarah yang berhasil dirangkum, disebutkan bahwa Wali Joko masih memiliki hubungan darah dengan Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak Bintoro. Dimana, Raden Patah adalah putra Prabu Kertabumi dengan Permaisuri putri Kerajaan Campa, Dewi Kian.

Saat muda, Pangeran Panggung pernah berguru pada Syeh Siti Jenar. Raden Patah yang mengetahui hal ini, kemudian menasehati Wali Joko agar meninggalkan ajaran yang dinilai menyimpang dari syariat Islam, utamanya di bidang tauhid itu. Raden Patah menyarankan agar Wali Joko belajar agama kepada Sunan Kalijaga yang beraliran ahlusunnnah wal jama'ah.

Sekitar tahun 1500 Masehi, atau tepatnya 1210 H, Pangeran Panggung mendirikan sebuah masjid di Kendal. Pangeran Panggung datang dan mendirikan masjid di daerah Kendal, setelah melewati pengembaraan yang cukup panjang. Pengembaraan yang harus dilakukan, setelah kerajaannya, yaitu Majapahit, runtuh karena diserang pasukan Prabu Girindra Wardhana dari Kediri.

Di masjid yang didirikannya, Wali Joko memiliki sejumlah santri. Beliau menanggung seluruh kebutuhan hidup para santrinya. Selain diberi pembelajaran ilmu agama, para santri juga dikaryakan antara lain dengan mengolah lahan pertanian dan tambak.

Kini, masjid peninggalan Wali Joko tersebut dikenal dengan Masjid Agung. Seiring berjalannya waktu, masjid yang berdiri gagah di pusat Kota Kendal ini telah mengalami delapan kali renovasi. Di sisi lain, tidak banyak benda-benda peninggalan yang dapat ditemui di masjid itu.

Menurut catatan takmir masjid, sejarah hanya menyisakan antara lain berupa, maksurah atau tempat shalat bagi bupati kala itu, mimbar tempat khotbah berbahan kayu jati yang di bagian muka bertuliskan tahun 1210 H, serta bergambar beduk dan penabuhnya.

Di kompleks berdirinya masjid yang saat ini sedang dibangun sebuah menara dengan tinggi 45 meter. Adanya makam di kompleks masjid, pada awalnya adalah rumah Wali Joko. Selain makam Wali Joko yang berada di depan sebelah selatan Masjid Agung Kendal, di belakang masjid juga terdapat dua makam ulama lainnya, yaitu makam Kiai Abu Sujak yang di era 1800-an adalah penghulu pertama Masjid Agung Kendal dan makam Wali Hadi yang meninggal pada 1930.

Tradisi peninggalan Wali Joko yang masih dapat ditemui di Masjid Agung Kendal, salah satunya ialah membuat tradisi buka bersama dan juga Kegiatan Tadarus di bulan Ramadan serta menggelar pengajian Kitab Kuning (kitab yang berisi uraian dan penjabaran para ulama yang bersumber dari Alquran dan Hadis.
5235/6 <12+17> 22. Aria Gugur / Sunan Lawu [Brawijaya V]
5536/6 <12+14> Dewi Manik [Brawijaya V] 5737/6 <12+14> Raden Jaka Prabangkara [Brawijaya V]
5838/6 <12+14> Raden Jaka Krewet [Brawijaya V]
5939/6 <12+14> Raden Jaka Kretek [Brawijaya V]
6040/6 <12+14> Raden Surenggana [Brawijaya V]
6141/6 <12+14> Putri Ratna Bintara [Brawijaya V] 6242/6 <12+14> Ratu Ayu [Brawijaya V] 6343/6 <12+14> Raden Gajah Pramana [Brawijaya V]
6444/6 <12+14> Putri Ratna Marlangen [Brawijaya V] 6545/6 <12+14> Putri Ratna Sataman [Brawijaya V] 6646/6 <12+14> Putri Ratna Satamin [Brawijaya V] 6747/6 <12+14> Putri Kanistren / Raden Retno Kanitren [Brawijaya V] 6848/6 <12+14> Putri Kaniraras / Putri Kanilaras [Brawijaya V] 6949/6 <12+14> Dewi Ambar [Brawijaya V] 7050/6 <12+14> Raden Hario Surongsong [Brawijaya V]
7151/6 <12+14> Raden Hario Wangsa / Kyai Ageng Pilang [Brawijaya V]
7252/6 <12+14> Raden Jaka Dandun / Syeh Belabelu [Brawijaya V]
7353/6 <12+14> Raden Jaka Dander / Nawangsaka (Raden Jaka Sander) [Brawijaya V]
7454/6 <12+14> Raden Jaka Balot / Kidangsana [Brawijaya V]
7555/6 <12+14> Raden Jaka Barak / Carang Gana [Brawijaya V]
7656/6 <12+14> Raden Jaka Paturih / Pacangkringan [Brawijaya V]
7757/6 <12+14> Putri Dewi Sampur [Brawijaya V]
7858/6 <12+14> Raden Jaka Laweh / Duruan [Brawijaya V]
7959/6 <12+14> Raden Jaka Jaduk / Malang Sumirang [Brawijaya V]
8060/6 <12+14> Raden Jaka Balut / Megatsari [Brawijaya V]
8161/6 <12+14> Raden Jaka Suwung [Brawijaya V]
8262/6 <12+14> Dewi Soekati [Brawijaya V]
8363/6 <12+14> Raden Jaka Tarwa / Banyakwulan [Brawijaya V]
8464/6 <12> Raden Jaka Maluwa / Banyak Modang [Brawijaya V]
8565/6 <12+14> Raden Jaka Lanang / Banyak Bakung [Brawijaya V]
8766/6 <12+14> Putri Dewi Rantang [Brawijaya V]
8867/6 <12+14> Raden Jaka Semprung / Kiyahi Ageng Brandet [Brawijaya V]
8968/6 <12+14> Raden Kunijang / Hario Tepos [Brawijaya V]
9069/6 <12+14> Raden Jaka Lemboso / Hario Pacetlondo [Brawijaya V]
9170/6 <12+14> Raden Jaka Lirih [Brawijaya V]
9371/6 <12+14> Putri Dewi Paniwet [Brawijaya V]
9472/6 <12+14> Raden Jaka Barong [Brawijaya V]
9573/6 <12+14> Raden Jaka Blabur / Saputarup [Brawijaya V]
9674/6 <12+14> Raden Jaka Bindho / Raden Baratketigo (Raden Jaka Balado/Raden Barat Ketigo) [Brawijaya V]
9775/6 <12+14> Raden Jaka Budu / Raden Tawangbalun (Raden Tawangalun) [Brawijaya V]
9876/6 <12+14> Raden Jaka Tarikbolong [Brawijaya V]
9977/6 <12+14> Raden Jaka Lengis / Raden Jejeran (Raden Jajatan) [Brawijaya V]
10078/6 <12+14> Raden Guntur [Brawijaya V]
10179/6 <12+14> Raden Jaka Malot / Raden Panjangjiwo (Raden Jaka Malad) [Brawijaya V]
10280/6 <12+14> Raden Jaka Sinorang / Sulangjiwa [Brawijaya V]
10381/6 <12+14> Raden Jaka Jatang / Singapadu [Brawijaya V]
10482/6 <12+14> Raden Jaka Karawu / Raden Macanpuro (Raden Jaka Karadu) [Brawijaya V]
10583/6 <12+14> Raden Jaka Krendo / Raden Harya Panular (Raden Jaka Krendha) [Brawijaya V]
10684/6 <12+14> Raden Jaka Jinggring / Norowito [Brawijaya V]
10785/6 <12+14> Raden Jaka Salembar ? (Raden Jaka Panangkilan) [Brawijaya V]
11086/6 <12+14> Raden Jaka Kaburu / Raden Pasingsingan [Brawijaya V]
11187/6 <12+14> Raden Jaka Lambang Kyai Wanapala (Raden Jaka Lambung/Raden Astracapa) [Brawijaya V]
11288/6 <12+14> Raden Jaka Lumuru ? (Raden Katawangan) [Brawijaya V]
11389/6 <12+14> Raden Jaka Doblang / Raden Yudasara (Raden Jaka Deplang) [Brawijaya V]
11490/6 <12+14> Raden Jaka Golok / Ki Ageng Jatinom Klaten (Raden Jaka Delog) [Brawijaya V]
11591/6 <12+14> Raden Jaka Bluwo / Syeh Sekardali (Syeh Sekardelimo) [Brawijaya V]
11692/6 <12+14> Raden Jaka Wayah / Syeh Bubukjanur (Raden Jaka Wajar) [Brawijaya V]
11793/6 <12+14> Raden Jaka Pandak / Syeh Kaliatu (Raden Jaka Wadag) [Brawijaya V]
11894/6 <12+14> Raden Jaka Bodho / Kyai Ageng Majastra (Ki Ageng Majasto) [Brawijaya V] 11995/6 <12+14> Raden Jaka Gapyuk / Kiyai Ageng Palesung [Brawijaya V]
12096/6 <12+14> Raden Jaka Sengara / Raden Pangayat (Ki Ageng Pring) [Brawijaya V]
12197/6 <12+14> Raden Jaka Supeno / Kiyai Ageng Tembayat [Brawijaya V]
12298/6 <12+14> Raden Jaka Pangawe / Raden Singunkara [Brawijaya V]
12399/6 <12+14> Raden Jaka Turas / Raden Hadangkoro [Brawijaya V]
124100/6 <12+14> Raden Jaka Suwanda / Raden Jaka Lelana [Brawijaya V]
125101/6 <12+14> Raden Jaka Suwarno / Raden Jaka Tanengkung (Raden Taningkingkung) [Brawijaya V]
126102/6 <12+14> Raden Jaka Ketul / Raden Lembaksiu (Adipati Bali) [Brawijaya V]
128103/6 <12+14> Raden Jaka Wirun / Raden Sarasidho (Raden Larasido) [Brawijaya V]
129104/6 <12+14> Raden Jaka Sumeno / Raden Kenitan (Raden Jaka Suseno/Raden Kaniten) [Brawijaya V]
130105/6 <12+14> Raden Jaka Besur / Raden Saragading (Raden Jaka Badu/Raden Suragading) [Brawijaya V]
131106/6 <12+14> Raden Jaka Gatot / Raden Balaruci (Raden Balacuri) [Brawijaya V]
132107/6 <12+14> Raden Jaka Raras / Raden Notosanto (Raden Lokananta) [Brawijaya V]
133108/6 <12+14> Raden Jaka Paniti / Raden Panurta [Brawijaya V]
135109/6 <12+14> Raden Jaka Sawunggaling / Raden Jaka Nara [Brawijaya V]
136110/6 <12+16> Raden Lembu Amisani [Brawijaya V]
137111/6 <22> Wijaya Badra / Bhre Lasem [Majapahit Rajasa]
138112/6 <26+?> We Tappacina [?]

7

1591/7 <46+20> 3.4.2. Raden Kusen / Pangeran Pamalekaran (Arya Abdillah) [Brawijaya V]
titl: Adipati Terung, Adipati Terung / Bupati Teterung
Perang Majapahit dan Demak

Pada umumnya, perang antara Majapahit dan Demak dalam naskah-naskah babad dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu tahun 1478. Perang ini terkenal sebagai Perang Sudarma Wisuta, artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah.

Naskah babad dan serat tidak mengisahkan lagi adanya perang antara Majapahit dan Demak sesudah tahun 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan kronik Cina kuil Sam Po Kong, perang antara Demak melawan Majapahit terjadi lebih dari satu kali.

Dikisahkan, pada tahun 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing di Moa-lok-sa sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Yang dimaksud dengan bangsa asing ini adalah orang-orang Portugis di Malaka. Jin Bun pun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat istrinya adalah adik Jin Bun.

Perang ini juga terdapat dalam catatan Portugis. Pasukan Majapahit dipimpin seorang bupati muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Selain itu Majapahit juga menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik. Namun, serangan ini gagal di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan gelar Kyai Mutalim Jagalpati.

Sepeninggal Raden Patah alias Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin putranya yang bernama Pangeran Sabrang Lor sampai tahun 1521. Selanjutnya yang naik takhta adalah Sultan Trenggana adik Pangeran Sabrang Lor.

Menurut kronik Cina, pergantian takhta ini dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis. Perang antara Majapahit dan Demak pun meletus kembali. Perang terjadi tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit.

Perang terakhir terjadi tahun 1527. Pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus putra Sunan Ngudung, yang juga menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen adipati Terung ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus.

Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang menjadi pemimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Sultan Trenggana), yang bernama Toh A Bo.

Dari berita di atas diketahui adanya dua tokoh muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Sedangkan Raden Kusen adalah putra Arya Damar. Ibunya juga menjadi ibu Raden Patah. Dengan kata lain, Raden Kusen adalah paman Sultan Trenggana raja Demak saat itu.

Raden Kusen pernah belajar agama Islam pada Sunan Ampel, pemuka Wali Sanga. Dalam perang di atas, ia justru memihak Majapahit. Berita ini membuktikan kalau perang antara Demak melawan Majapahit bukanlah perang antara agama Islam melawan Hindu sebagaimana yang sering dibayangkan orang, melainkan perang yang dilandasi kepentingan politik antara Sultan Trenggana melawan Dyah Ranawijaya demi memperebutkan kekuasaan atas pulau Jawa.

Menurut kronik Cina, Pa-bu-ta-la meninggal dunia tahun 1527 sebelum pasukan Demak merebut istana. Peristiwa kekalahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya ini menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Majapahit. Para pengikutnya yang menolak kekuasaan Demak memilih pindah ke pulau Bali.
1612/7 <29> Pangeran Panembahan Agung [Majapahit Rajasa]
micher: Adipati Ponorogo II
1643/7 <30+26> 1. Ki Ageng Wonosobo /Syeh Ngabdullah [Brawijaya]
marvidigezh: Plobangan-Selomerto-Wonosobo
Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro

Sekitar tahun 1468 – 1478 M. ada seorang Prabu Kertabumi yang bertahta, raja Brawijaya V. kerajaan Majapahit yang menikah dengan seorang putri yang bernama Dewi Wandan Kuning. Atas pernikahan itu menurunkan putra bernama Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih yang menjadi putri Ki Ageng Jaka Tarub dan Nawangwulan. Pernikahan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih mempunyai tiga orang Putra yaitu :

  • 1.Ki Ageng Wanasaba
  • 2.Ki Ageng Getas Pendawa dan
  • 3.Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan

1. Ki Ageng Wanasaba, yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Ngabdullah merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang pertama / sulung, yang sekarang makamnya ada di daerah yang bernama kabupaten Wonosobo, tepatnya di desa Plobangan Selo merto[9].

Dalam masa hidupnya, Ki Ageng Wanasaba juga sebagai seorang Pemimpin yang yang hebat dan karismatik. Ki Ageng Wanasaba dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Dukuh, akan tetapi desa Plobangan lebih dikenal dengan Ki wanu / Ki wanusebo. Perbedaan nama tersebut disebabkan dialek daerah Wanasaba tersebut terpengaruh oleh dialek Banyumas.

Ki Ageng Wanasaba dipercaya dan diyakini sebagai waliyullah, yang telah melanglang buana keberbagai tempat dalam rangka mencari ilmu sekaligus menyiarkan agama Islam. Ki Ageng Wanasaba merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit dan merupakan putra Raden Bondan Kejawan, Lembu Peten , putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih, dan Nawangsih sendiri putri dari Ki jaka Tarub yang menikah dengan Dewi Nawang wulan ( epos Jaka Tarub ).

Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng Pandanaran. Pangeran Made Pandan mempunyai putra Ki Ageng Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar, Putri dan Ki juru Mertani.

Situs makam Ki Ageng Wanasaba saat ini dipugar, dikeramatkan dan dijaga dengan baik oleh warga sekitar. Lokasi situs ini sangat dihormati oleh masyarakat, karena KI Ageng Wanasaba merupakan tokoh penyebar agama islam dan sekaligus cikal bakal dari desa Plobangan Selomerto kabupaten wonosobo. Di sekitar makam Ki Ageng Wanasaba terdapat tiga makam kuno. Konon tiga makam itu juga merupakan pendahulu, seorang ulama yang sejaman dengan Ki Ageng Wanasaba.
1664/7 <53> Menak Simbar [Brawijaya V]
titl: Adipati Puger
1695/7 <54> Raden Wasisrowo [Brawijaya]
ganedigezh: Cloning 1 (Karena selisih generasi)
1716/7 <86> Kyai Aden Gesikan I [Brawijaya V]
ganedigezh: Grade #2 Brawijaya V
1607/7 <30+26> Ki Ageng Getas Pendowo [Br.6.2] Ki Getas Pendhawa (Raden Dhepok) [Brawijaya V]
marvidigezh: 1445
1568/7 <38+30> Raden Rajasawardhana Dyah Wijayakumara/ Brawijaya II [Majapahit Rajasa]
eured:
eured: <48> Manggalawardhani / Bhre Tanjungpura (Dyah Suragharini / Putri Junjung Buih) [Majapahit Rajasa]
titl: 1451 - 1453, Prabu Majapahit VIII bergelar Brawijaya II
Rajasawardhana dalam sejarah Kerajaan Majapahit merujuk pada dua orang. Yang pertama adalah pejabat Bhre Matahun pada pemerintahan Hayam Wuruk, sedangkan yang kedua adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1451-1453.

Rajasawardhana alias Bhre Matahun Menurut Nagarakretagama, Rajasawardhana alias Bhre Matahun adalah suami dari Indudewi alias Bhre Lasem putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Dari perkawinan itu, lahir Nagarawardhani yang menikah dengan Bhre Wirabhumi putra Hayam Wuruk, raja Majapahit saat itu (1351-1389).

Pejabat Bhre Matahun yang identik dengan Rajasawardhana dalam Pararaton adalah Raden Larang. Istrinya adalah adik kandung Hayam Wuruk. Perkawinan tersebut tidak menghasilkan keturunan, karena istri Bhre Wirabhumi versi Pararaton adalah putri Raden Sumana alias Bhre Paguhan, bukan putri Raden Larang.

Dalam hal ini, berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya, karena ditulis tahun 1365, saat Rajasawardhana masih hidup.

Rajasawardhana Sang Sinagara Raja Majapahit Rajasawardhana yang kedua muncul dalam Pararaton sebagai raja Majapahit yang naik takhta tahun 1451. Disebutkan bahwa, sebelum menjadi raja ia pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan, Bhre Keling, kemudian Bhre Kahuripan.

Rajasawardhana naik takhta menggantikan Dyah Kertawijaya. Hubungan antara keduanya tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat bahwa, Rajasawardhana adalah adik Dyah Kertawijaya yang melakukan kudeta disertai pembunuhan terhadap kakaknya tersebut.

Pendapat di atas perlu diselidiki kebenarannya, karena Pararaton menyebutkan, Dyah Kertawijaya adalah putra bungsu dalam keluarga Wikramawardhana.

Pendapat lain mengatakan, Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, yaitu putra sulung Dyah Kertawijaya yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu (1447).

Menurut prasasti Waringin Pitu, Dyah Wijayakumara memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak, yaitu Dyah Samarawijaya dan Dyah Wijayakarana.

Sementara itu, Rajasawardhana Sang Sinagara dalam Pararaton memiliki empat orang anak, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kertabhumi. Jika Rajasawardhana benar identik dengan Wijayakumara, berarti Bhre Kahuripan dan Bhre Mataram juga identik dengan Samarawijaya dan Wijayakarana. Mungkin, saat prasasti Waringin Pitu dikeluarkan (1447), Bhre Pamotan dan Bhre Kertabhumi belum lahir.

Pemerintahan Rajasawardhana juga terdapat dalam berita Cina. Disebutkan bahwa pada tahun 1452 Rajasawardhana mengirim duta besar ke Cina.

Menurut Pararaton, sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453, Majapahit mengalami kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Tokoh ini dianggap identik dengan Girisawardhana yang tercatat dalam prasasti Waringin Pitu.
1589/7 <27+35> Raden Kebo Kenanga / Ki Ageng Kebo Kenanga / Ki Ageng Pengging II [Singhawardhana]
ganedigezh: 1473
Asal-Usul Ki Ageng Pengging

Nama aslinya adalah Raden Kebo Kenanga. Kakaknya bernama Raden Kebo Kanigara. Keduanya adalah putra pasangan Andayaningrat dan Ratu Pembayun.

Kebo Kenanga Menjadi Ki Ageng Pengging II Serat Kanda mengisahkan, Andayaningrat membela Majapahit saat berperang melawan Demak. Ia tewas di tangan Sunan Ngudung panglima pasukan Demak yang juga anggota Walisanga. Kebo Kenanga tidak ikut berperang karena takut menghadapi gurunya. Padahal, Syekh Siti Jenar sendiri tidak mendukung serangan Demak.

Kebo Kenanga kemudian menjadi penguasa Pengging menggantikan ayahnya. Namun, ia tidak menjalani hidup mewah sebagaimana para bupati umumnya, melainkan hidup sebagai petani membaur dengan rakyatnya.

Menurut Serat Siti Jenar, Kebo Kenanga bertemu Syekh Siti Jenar sesudah menjadi penguasa Pengging. Dikisahkan keduanya berdiskusi tentang persamaan agama Hindu, Buddha, dan Islam. Akhirnya, dicapai kesepakatan kalau ketiga agama tersebut pada hakikatnya sama, yaitu sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, hanya tata cara peribadatannya saja yang berbeda.

[sunting] Keluarga Ki Ageng Pengging Ki Ageng Kebo Kenanga Pengging menikah dengan kakak perempuan Ki Ageng Butuh (murid Syekh Siti Jenar pula). Dari perkawinan itu lahir seorang putra bernama Mas Karebet.

Saat Karebet dilahirkan, Ki Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang yang didalangi kakak seperguruannya, yaitu Ki Ageng Tingkir. Sepulang mendalang, Ki Tingkir meninggal dunia. Kelak, sepeninggal Ki Ageng Pengging dan istrinya, Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir), sehingga setelah dewasa, Karebet pun dijuluki sebagai Jaka Tingkir dan mendirikan Kesultanan Pajang. Pendirian kasultanan Pajang adalah sebagai usaha Jaka Tingkir, yang telah berhasil memperistri putri Sultan Trenggana, untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Demak menuju pedalaman Jawa. Hal inilah yang memunculkan teori berpindahnya corak kerajaan maritim ke agraris. Secara politis juga untuk menjauhkan diri dari kemungkinan sengketa dengan keturunan Sekar Seda Lepen yang bernama Arya Penangsang.

[sunting] Kematian Ki Ageng Pengging Menurut Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Pengging dicurigai Raden Patah hendak memberontak karena tidak mau menghadap ke Demak. Patih Wanapala (versi Serat Siti Jenar menyebut Patih Wanasalam) dikirim ke Pengging untuk menyampaikan teguran.

Waktu setahun berlalu dan Ki Pengging tetap menolak menghadap. Apalagi ia gencar mendakwahkan ajaran Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat oleh pemerintah Demak. Maka, Sunan Kudus pun dikirim untuk menghukum mati Ki Ageng Pengging.

Setelah melalui perjalanan panjang, rombongan Sunan Kudus akhirnya tiba di Pengging. Ki Pengging merelakan kematiannya daripada harus menghadap Raden Patah. Akhirnya, ia pun meninggal dunia setelah titik kelemahannya, yaitu ujung siku, ditusuk keris Sunan Kudus.

Menurut Serat Siti Jenar, Ki Ageng Pengging Kebo Kenongo meninggal karena kemauannya sendiri. Sebelumnya, ia dikisahkan berhasil menyadarkan Sunan Kudus tentang ajaran Syekh Siti Jenar yang sebenarnya. Akhirnya, Ki Ageng Pengging meninggal dunia dengan caranya sendiri, bukan karena ditusuk Sunan Kudus.

Pada intinya, kematian Ki Ageng Pengging disebabkan karena penolakannya terhadap pemerintahan Demak. Ia adalah murid terbaik Syekh Siti Jenar, yaitu seorang wali yang mengajarkan kesederajatan manusia dan menolak basa-basi duniawi.
14510/7 <28+31> Pangeran Sabrang Lor / Dipati Unus (Raden Surya) [Brawijaya V]
titl: 1518, Sultan Demak II
marvidigezh: 1521
14411/7 <28+31> 3.4.1.1. Pangeran Hadipati Trenggono ? ((Sultan Trenggono)) [Raden Trenggono]
ganedigezh: 1521
titl: < 1546, Demak, Sultan Demak III bergelar Sultan Alam Akbar III
marvidigezh: 1548
13912/7 <38> Dewi Subasiti [Majapahit Rajasa]
14013/7 <38> Dewi Sitisari [Majapahit Rajasa]
14114/7 <38> Adipati Arya Baribin - Pajajaran [Srie Pamekas - Nata / Raja Pajajaran] 14215/7 <38> Dewi Wukut [Majapahit Rajasa] 14316/7 <27+35> Ki Ageng Kebo Kanigoro [Kebo Kanigoro]
Raden Kebo Kanigara' adalah putra pasangan Andayaningrat dan Ratu Pembayun. Ayah Raden kebo Kanigara adalah Jaka Sengara Jumeneng bupati Pengging nama gelar Pangeran Handayaningrat Pengging / Andayaningrat atau Ki Ageng Pengging I (versi lain menyebutnya Jayaningrat). Kedua putranya menempuh jalan hidup yang berbeda. [[Kebo Kanigara yang setia pada agama lama meninggal saat bertapa di puncak Gunung Merapi]]. [[Sedangkan Kebo Kenanga masuk Islam di bawah bimbingan Syekh Siti Jenar.]]
14617/7 <32+36> Putri Kalungsu (Putri Kabu Waringin) [Hikayat Banjar I]
14718/7 <29> Kanjeng Gusti Pembajoen [Majapahit Rajasa]
14819/7 <32+36> Putri Kalarang [Hikayat Banjar I] 14920/7 <33+148!> Maharaja Carang Lalean (Pangeran Aria Diwangsa) [Hikayat Banjar I] 15021/7 <31+34!> Bhre Tanjungpura / Manggalawardhani Dyah Suragharini (Putri Junjung Buih/Putri Ratna Janggala Kadiri) [Majapahit Rajasa] 15122/7 <31+34!> Dyah Sureswari / Bhre Pajang III [Majapahit Rajasa] 15223/7 <31+34!> Wijayendhudewi Dyah Wijayadhuhita / Bhre Jagaraga [Majapahit Rajasa] 15324/7 <31+34!> Raden Jayeshwara/ Bhre Keling I [Majapahit Rajasa] 15425/7 <36> Rajasawardhana [Majapahit]
15526/7 <36> R. Purwawisesa (Bhre Wengker) [Majapahit]
15727/7 <28+31> 3.4.1.2. Ratu Pambayun / Nyai Pembaya [Brawijaya V] 16228/7 <28+32> Pangeran Sekar Seda Lepen / Raden Kikin [Raden Patah]
16329/7 <28> R. Soerjo [?]
16530/7 <30+26> 3. Nyai Ageng Ngerang I/ Nyai Siti Rochmah (Dewi Roro Kasihan) [Brawijaya V]
== NYAI AGENG NGERANG ==

Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro


A. ASAL - USUL NYAI AGENG NGERANG

Nyai Ageng Ngerang mempunyai nama asli Siti Rohmah Roro Kasihan[1]. Walaupun disisi lain, ada yang mengatakan bahwa nama beliau banyak sekali, bahkan sampai 24 nama, akan tetapi itu hanya nama samaran ketika beliau mengadakan peperangan dengan bertujuan untuk berdakwah, menyebarkan agama Islam, Supaya tidak diketahui jatidiri beliau sebenarnya. Karena kalau nama asli beliau yang dipergunakan, justru akan menghambat misi perjuangan dakwah beliau.

Beliau adalah merupakan seorang waliyullah yang banyak disegani banyak orang, karena disamping beliau mempunyai keturunan bangsawan / darah biru dari Raja Brawijaya V, juga beliau seorang Waliyullah yang gigih dan berani untuk menegakkan kebenaran serta Penyayang dan Melindungi kaum yang lemah dan teraniaya.

Beliau senang sekali terhadap orang yang kehidupanya sederhana serta suka membantu orang yang mengalami kesusahan dalam menghadapi problema kehidupan yang tak kunjung sirna, selama mereka mau bertawasul kepada Beliau. Sesuai dengan namanya Siti Rahmah Roro Kasihan adalah seseorang yang suka menaruh belas kasihan / iba dan memberi kasih sayang terhadap kaum muslimin yang ingin mendoakan dan sekaligus membutuhkan bantuan beliau ( Tawasul kepada beliau ) untuk meminta kepada Allah SWT.

Beliau mempunyai pandangan yang jauh dan luas dalam hidup dan kehidupan manusia secara hakiki. Sebagai seorang sufi yang tidak senang dengan kemewahan dunia belaka, maka hidupnya diabdikan dan tawakal kepada Allah untuk berjuang menegakkan agama islam dengan berdakwah dari tempat satu ketempat yang lain, yang beliau anggap tepat sasaranya.

Menurut apa yang dituturkan dari berbagai sumber dan catatan – catatan bersejarah, bahwa beliau berasal dari kerajaan majapahit tepatnya pada masa pemerintahan Raja Brawijaya V, Prabu Kertabumi, yang telah menurunkan Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Raden Bondan kejawan mempunyai istri Dewi Nawangsih. Dewi Nawangsih merupakan Putri dari Nawang Wulan dan Nawang Wulan adalah istri dari Ki Jaka Tarub, Kidang Telangkas[2].

Raden Bondan Kejawan menurunkan tiga putra, yaitu Ki Ageng Wanasaba, Ki Ageng Getas Pandawa dan Putri yang bungsu bernama Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan[3].

Adapun sejarah kedatangan beliau menurut catatan ahli tarikh. Pada waktu itu beliau hidup dalam kerajaan yang syarat dengan banyak aturan duniawi, serta terbelenggunya kegiatan penyebaran agama islam, oleh karena itu, beliau melakukan melanglang buana dalam rangka misi dakwah dengan menjauhkan diri dari kerajaan tesebut untuk benar – benar dapat menemukan kehidupan yang hakiki dan diridhoi ilahi robbi. Dengan uzlah (mengasingkan diri) dan berdakwah agama islam, dengan sistim berpindah tempat, dari tempat satu ketempat yang lain, termasuk pernah singgah ditanah muria, dan akhirnya beliau mendapatkan wilayah yang layak dan tepat untuk berdakwah yaitu di Pati kidul, tepatnya di dusun Ngerang Tambakromo Pati.

Dalam cerita masyarakat, bahwa pada saat berkumpul dan musyawarah beserta para saudara, Auliya dan penggede pada saat itu, untuk menentukan langkah selanjutnya dalam misi perjuangan dakwah. Beliau kadang diremehkan, karena seorang perempuan. “Perempuan identik dirumah dan tidak bisa berbuat apa-apa, bagian perempuan hanya sedikit (setengah bagian dari laki-laki), lain halnya dengan bagian laki-laki ”, karena langkah seorang perempuan itu sempit dan tidak bisa mendapatkan wilayah kekuasaan yang begitu luas. Oleh karenya menurut beberapa versi, beliau langsung membakar Slendang Kemben yang menjadi warisan dari nenek beliau Nawang Wulan dan Ki Jaka Tarub. Dan beliau berkata, “Langes dari bakaran slendang ini yang dibawa angin, dimanapun jatuhnya, dan tempat yang kejatuhan langes tersebut akan menjadi Bumi Ngerang. Ada juga yang mengatakan bahwa slendang beliau di hamtamkan keatas udara dan keluar percikan api dan percikan api tersebut mengeluarkan sisa yang dinamakan langes.

Menurut versi lain bahwa beliau membuat perapian dengan membakar sisa batang padi, kemudian langes dari perapian tersebut ditiup angin dari hembusan Slendang Kemben beliau. Kemudian langes tersebut dimanapun jatuhnya akan membentuk bumi Ngerang.

Dengan melihat kejadian tersebut, konon saudara-saudara beliau juga tidak mau kalah dengan apa yang telah dilakukakanya, maka tidak berfikir banyak, saudara-saudara beliau kemudian membakar kaosnya. Dimanapun langes bakaran dari kaos tersebut jatuh, maka akan membentuk bumi / tanah muria. Dengan demikian itu bumi Ngerang dan bumi muria terdapat dimana-mana. Dan bumi tersebut tidak ada yang kuat menempatinya ( banyak problem dan masalah kehidupan yang dihadapinya ), kecuali yang memanfaatkan adalah anak dan cucu beliau.

Didalam perjalanan perjuangan dakwah Nyai Ageng Ngerang sangat penuh dengan cobaan, rintangan dan halangan. Tapi itu semua, tidak membuat beliau jera dan putus asa, karena perjuangan untuk membumikan syariat agama Islam, syarat dengan halangan dan rintangan. Perjuangan beliau berakhir didusun Ngerang Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati Jawa Tengah. Akhirnya beliau membangun masjid dan tempat tinggal sebagai wadah untuk istiqomah dalam berdakwah di dusun Ngerang tersebut, tepatnya di muludan, sebelah utara makam beliau.

Makam Beliau ada di dusun Ngerang kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, tanah pemakaman beliau disebut dengan istilah sentono ( tanah kerajaan ), karena dahulu ditempat itu merupakan sebuah kerajaan dimasa hidup beliau. Makam beliau sangat dikeramatkan, dihormati dan dirawat serta dijaga oleh warga dusun Ngerang Tambakromo Pati dengan baik, karena beliau selain sebagai pejuang islam yang tangguh, juga beliau merupakan cikal bakal dusun Ngerang Tambakromo.

B. SILSILAH KETURUNAN

Menurut beberapa catatan dan keterangan dari berbagai sumber, termasuk dari Keraton Surakarta Hadiningrat, bahwa Nyai Ageng Ngerang mempunyai nama asli Siti Rohmah Roro Kasihan, setelah menikah dengan Ki Ageng ngerang, nama beliau berubah menjadi Nyai Ageng Ngerang. Beliau mempunyai tali lahir maupun batin dengan sultan – sultan dan guru besar agama yang bersambung pada Raja Brawijaya V, raja majapahit Prabu Kertabumi, Beliau diberikan nama dengan sebutan Nyai Ageng Ngerang dan makamnya ada didusun Ngerang Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, ada beberapa versi yang mengatakan, beliau senang membantu orang yang sedang di ganggu demit dan termasuk didusun Ngerang juga banyak demit yang pating sliwerang, kemudian dikalahkan dan diusir oleh beliau dari dusun itu, maka oleh karena itu beliau disebut Nyai Ageng Ngerang.

Dilihat dari silsilah beliau kebawah dan seterusnya. Nyai Ageng Ngerang yang makamnya di Ngerang Tambakromo Pati adalah Nyai Ageng Ngerang, Siti rohmah Roro Kasihan. Beliau di peristri Ki Ageng Ngerang I.Ki Ageng Ngerang I Putra dari Syaihk Maulana Malik Ibrahim.[4] Dan atas perkawinan Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang I, beliau mempunyai dua orang Putra, Pertama adalah seorang putri dan belum diketahui dan dijelaskan namanya didalam buku – buku maupun sumber lain. Putri Beliau yang pertama diperistri oleh Ki Ageng Selo[5]. Dan Ki Ageng Selo adalah putra dari Ki Ageng Getas Pendawa. Putra yang kedua beliau adalah Ki Ageng Ngerang II yang disebut Ki Ageng Pati, makamnya sekarang berada di Ngerang Pakuan Juana,

Ki Ageng Ngerang II mempunyai empat putra yaitu Ki Ageng ngerang III, Ki Ageng Ngerang IV, Ki Ageng Ngerang V dan Pangeran Kalijenar.

Sedangkan Ki Ageng Ngerang III, Makamnya sekarang ada di Laweyan solo Jawa Tengah[6]. Ki Ageng Ngerang III ini yang telah menurunkan Ki Ageng Penjawi. Ki Ageng Penjawi, orang yang pernah menjadi Adipati Kadipaten pati setelah gugurnya Arya Penangsang, Arya Penangsang adalah adipati Jipang Panolan dan Arya penagnsang adalah putra Pangeran Sedalepen.

Ki Ageng Penjawi sangat berjasa dalam menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh laskar Soreng yang dpimpin oleh Arya Penangsang, untuk membunuh semua keturunan Sultan Trenggono, karena iri hati. Sedangkan Ki Ageng Penjawi sebagai panglima perang bersama Danang Sutawijaya, Ki Juru Mertani, Ki Pemanahan ( tiga Serangkai ) akhirnya dapat mengalahkan Arya Penangsang beserta bala tentaranya.

Dari silsilah Nyai Ageng Ngerang keatas, beliau menjadi Putri bungsu Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng, atas pernikahanya dengan Dewi Nawangsih. Dan Raden Bondan Kejawan sendiri merupakan Putra dari Raja Brawijaya V, Raja majapahit, Prabu Kertabumi. Raja Brawijaya bertahta pada tahun 1468 – 1478 M[7].

Ayah Nyai Ageng Ngerang masih saudara Raden Patah. Raden Patah adalah orang yang pertama kali menjadi Sultan pada Kerajaan Islam pertama di pulau jawa, yaitu Kasultanan Demak Bintoro. Kerajaan islam pertama dijawa yang didirikan oleh Raden Patah dan Raden Patah bergelar “Akbar Alfatt” Raden Patah juga Putra Raja Brawijaya V dengan ibu Syarifah Siti Jaenab adik kandung Sunan Ampel/Raden Rahmat keturunan Champa, daerah yang sekarang adalah perbatasan Kamboja dan Vietnam.

Hubungan Nyai Ageng Ngerang dengan Jaka Tarub, Kidang Telangkas. Jaka tarub mempunyai istri bernama Nawang Wulan. Nawang Wulan dan Ki Jaka Tarub mempunyai Putri Nawangsih dan Nawangsih diperistri Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dan Nawangsih, telah menurunkan tiga putra, pertama Syaikh Ngabdullah yang sekarang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Wanasaba, dan putra kedua adalah Syaikh Abdullah yang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Getas Pandawa dan yang bungsu adalah Siti Rohmah Roro Kasihan yang terkenal dengan sebutan Nyai Ageng Ngerang[8].

Hubungan Nyai Ageng Ngerang dengan Sunan Muria, bahwa Sunan Muria merupakan saudara Nyai Ageng Ngerang yang kesekian kalinya. Dengan melihat beberapa versi tentang silsilah orang tua Sunan muria. Versi pertama mengatakan bahwa Sunan Muria anak Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, padahal anaknya sunan Kalijaga yang bernama Raden Ayu Penengah menjadi istri Ki Ageng Ngerang III, oleh karena itu dapat tarik kesimpulan bahwa Sunan Muria bukan menantu Nyai Ageng Ngerang, seperti yang disebutkan dalam cerita masyarakat, bahwa Dewi Roroyono menjadi Putri Nyai Ageng Ngerang dan diperistri Sunan Muria. Sunan Muria merupakan keponakan Nyai Ageng Ngerang dari Sunan Kalijaga.

C. SAUDARA – SAUDARA BELIAU

Seperti yang disebutkan diatas. Diceritakan bahwa pada sekitar tahun 1468 – 1478 M. ada seorang Prabu Kertabumi yang bertahta, raja Brawijaya V. kerajaan Majapahit yang menikah dengan seorang putri yang bernama Dewi Wandan Kuning. Atas pernikahan itu menurunkan putra bernama Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih yang menjadi putri Ki Ageng Jaka Tarub dan Nawangwulan. Pernikahan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih mempunyai tiga orang Putra yaitu :

  • 1.Ki Ageng Wanasaba
  • 2.Ki Ageng Getas Pendawa dan
  • 3.Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan

1. Ki Ageng Wanasaba, yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Ngabdullah merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang pertama / sulung, yang sekarang makamnya ada di daerah yang bernama kabupaten Wonosobo, tepatnya di desa Plobangan Selo merto[9].

Dalam masa hidupnya, Ki Ageng Wanasaba juga sebagai seorang Pemimpin yang yang hebat dan karismatik. Ki Ageng Wanasaba dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Dukuh, akan tetapi desa Plobangan lebih dikenal dengan Ki wanu / Ki wanusebo. Perbedaan nama tersebut disebabkan dialek daerah Wanasaba tersebut terpengaruh oleh dialek Banyumas.

Ki Ageng Wanasaba dipercaya dan diyakini sebagai waliyullah, yang telah melanglang buana keberbagai tempat dalam rangka mencari ilmu sekaligus menyiarkan agama Islam. Ki Ageng Wanasaba merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit dan merupakan putra Raden Bondan Kejawan, Lembu Peten , putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih, dan Nawangsih sendiri putri dari Ki jaka Tarub yang menikah dengan Dewi Nawang wulan ( epos Jaka Tarub ).

Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng Pandanaran. Pangeran Made Pandan mempunyai putra Ki Ageng Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar, Putri dan Ki juru Mertani.

Situs makam Ki Ageng Wanasaba saat ini dipugar, dikeramatkan dan dijaga dengan baik oleh warga sekitar. Lokasi situs ini sangat dihormati oleh masyarakat, karena KI Ageng Wanasaba merupakan tokoh penyebar agama islam dan sekaligus cikal bakal dari desa Plobangan Selomerto kabupaten wonosobo. Di sekitar makam Ki Ageng Wanasaba terdapat tiga makam kuno. Konon tiga makam itu juga merupakan pendahulu, seorang ulama yang sejaman dengan Ki Ageng Wanasaba.

2. Ki Ageng Getas Pendawa, yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Abdullah atau yang disebut Raden Depok adalah saudara kandung beliau, Ki Ageng Getas Pendawa merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang kedua. Ki Ageng Getas Pendawa juga seorang yang hebat, berwibawa dan karismatik serta sangat sederhana dalam hidup dan kehidupan manusia.

Beliau juga seorang pemimpin yang tegas dan berwibawa, oleh karena itu beliau disebut Ki Ageng Getas Pendawa. Beliau sangat tangguh dan konon sangat kuat dalam riyadhoh / tirakat, mengolah batin untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan harapan bisa menenangkan diri dan dapat menyebarkan agama islam dengan ikhlas, tulus dan berhasil. Makam beliau juga dikeramatkan oleh warga sekitar. Makam Ki Ageng Getas Pandawa ada di desa Kuripan Purwodadi, Grobogan.

Ki Ageng Getas Pendawa mempunyai putra yang bernama Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Ki Ageng Purna. Ki Ageng Kare, Ki Ageng wanglu, Ki Ageng Bokong dan Ki Ageng Adibaya. Sedangkan Ki Ageng Sela mempunyai Putra KI Ageng Enis dan Ki Ageng Enis menurunkan putra yang bernama Ki Ageng Pemanahan.
16731/7 <54> Pangeran Panggung Jaka Suwirya (Wasisrowo) [Brawijaya]
16832/7 <27+35> Raden Kebo Amiluhur [Raden Trenggono]
17033/7 <28+32> Ratu Ayu Nyawa / Ratu Ayu Wulan [Brawijaya V] 17234/7 <65+41> Harya Leka (Sumenep) [Brawijaya V]
17335/7 <136> Raden Wonoboyo / Raden Jaka (Ki Ageng Mangir Wonoboyo) [Brawijaya V] 17436/7 <97> Pangeran Sutowijoyo [Brawijaya V]
17537/7 <46+28!> Ario Menak Senojo [Brawijaya V] 17638/7 <29+34> Nyi Ageng Kaliwungu [Brawijaya V] 17739/7 <28> Ψ 1st Decendant of Sultan Demak [Demak]
17840/7 <28+31> Raden Alit / Pangeran Sekar [Patah]
17941/7 <118+46> Nyai Ageng Mus [Mus] 18042/7 <118> Raden Suradita [Suradita] 18143/7 <118+47> Raden Senopati Sindukalang [Sindukalang]
18244/7 <118+47> Raden Jatikusuma [Jatikusuma]
18345/7 <118> Raden Jayakusuma [Jayakusuma]
18446/7 <28> Raden Kandhuruwan / Adipati Sumenep [Kesultanan Demak]
18547/7 <138+?> Tampa Balusu Datu Luwu Pajung Luwu [Datu Luwu Pajung Luwu]
Gelar : Tampa Balusu Datu Luwu Pajung Luwu Tampa Balusu kemudian mengantikan ayahnya memenang tapukpimpinan Kerajaan Luwu. Tampa Balusu menikah dengan seorang putri bernama Daowe. Dari perkawinan mereka lahirlah Tanra Ballusu.

8

1861/8 <160> Ki Ageng Selo [Br.6.2.1] (Bagus Sogom) [Brawijaya V]
1872/8 <140+?> Ario Tambe Mojopahit [Mojopahit]
ganedigezh:
1913/8 <144> 3.4.1.1.2. Ratu Mas Cempaka [Demak]
DIPUTUS JALUR AYAHNYA : 26355
2004/8 <144> Ratu Mas Pambayun [Raden Trenggono]
ganedigezh: Level 1 = Putera ke 2 dari Sultan Trenggono Demak Bintoro
eured: <69> Kyai Ageng Lang / Pangeran Langgar [Raden Trenggono]
eured: <69!> Kyai Ageng Lang / Pangeran Langgar [Raden Trenggono]
2145/8 <150> Girindrawardhana Dyah Ranawijaya Bhre Kertabhumi [Majapahit Rajasa]
titl: Prabu Majapahit bergelar Brawijaya VI
2176/8 <162> Pangeran Arya Mataram-Jipang (Prince) [Demak]
titl: Jipang _ akhir Kerajaan Demak
ARYA MATARAM

Arya Mataram adalah adik tiri Arya Penangsang Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. ''Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.'' Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.

Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.

Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.
2187/8 <161> Pangeran Adipati Anom [Majapahit]
micher: Adipati Ponorogo III
2258/8 <166> Menak Sumende [Brawijaya V]
titl: Adipati Blambangan
2289/8 <164> Ki Ageng Pandanaran [Br.6.1.1] (Pangeran Made Pandan) [Brawijaya VI]
ganedigezh: Versi 1 : http://www.jatiningjati.com/2009/08/akan-banyak-orang-yang-tidak-percaya.html Versi 2 : http://kincho-ngerang.blogspot.com/ Versi 3 : http://kiagengmandaraka.blogspot.com/2011/06/saya-pengagum-beliau.html
eured: <236!> 3.4.1.1.4. Ratu Mas Mantingan [Demak]
23210/8 <169> Raden Wasisrowo [Brawijaya]
ganedigezh: Cloning 2 (Beda generasi)
24611/8 <171> Kyai Aden Gesikan II [Brawijaya V]
ganedigezh: Grade #3 Brawijaya V
21512/8 <156> Girishawardhana Dyah Suryawikrama / Bhra Hyang Purwawisesa (Dyah Suryawikrama / Brawijaya III) [Majapahit Rajasa]
titl: 1456 - 1466, Prabu Majapahit XI bergelar Brawijaya III
marvidigezh: 1466
Girishawardhana Dyah Suryawikrama adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1456-1466. Ia dianggap identik dengan Bhra Hyang Purwawisesa dalam Pararaton.

Bhra Hyang Purwawisesa dalam Pararaton Menurut Pararaton, Sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453 Majapahit dilanda kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Pada tahun 1462 terjadi bencana gunung meletus mewarnai pemerintahannya.

Pada tahun 1466 Hyang Purwawisesa meninggal dunia dan dicandikan di Puri. Ia digantikan oleh Bhre Pandansalas sebagai raja selanjutnya.

Girisawardhana Dyah Suryawikrama Tokoh Hyang Purwawisesa dianggap identik dengan Girisawardhana Dyah Suryawikrama, raja Majapahit yang mengeluarkan prasasti Sendang Sedur tahun 1463. Nama Dyah Suryawikrama sebelumnya juga muncul dalam prasasti Waringin Pitu (1447), sebagai putra kedua Dyah Kertawijaya.

Jika Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, kakak Suryawikrama. Maka, kekosongan pemerintahan selama tiga tahun dapat diperkirakan terjadi karena adanya perebutan takhta antara Suryawikrama melawan Samarawijaya putra sulung Wijayakumara.

Prasasti Waringin Pitu juga menyebutkan Samarawijaya adalah menantu Suryawikrama. Mungkin pada tahun 1456 persaingan antara keduanya berakhir setelah Samarawijaya merelakan takhta Majapahit kepada Suryawikrama, yang tidak lain adalah paman sekaligus mertuanya tersebut.
20313/8 <144> 5. Retna Kencana / Ratu Mas Kalinyamat [Raden Trenggono]
ganedigezh: 1514, Demak Bintoro
eured: <70> Pangeran Kalinyamat / Pangeran Toyib / Pangeran Tanduran / Tjie Bin Tang [Sultan Mughayat Syah] a. a. 1549
titl: 10 Ebrel 1527 - 1536, Jepara, Kanjeng Ratu Kalinyamat
marvidigezh: 1579, Jepara, Dimakamkan di dekat makam Pangeran Kalinyamat di desa Mantingan.
25514/8 <170+60> Pangeran Kesatriyan [Gunung Jati]
ganedigezh: 1516
25415/8 <170+60> 2. Panembahan Losari [Cirebon]
ganedigezh: 1518
19316/8 <144+?> 3.4.1.1.3. Sunan Prawoto I [Demak]
titl: 1546 - 1549, Demak
marvidigezh: 1549, Demak
Sultan ke IV ( terakhir ) dari Kerajaan Islam Demak DIPUTUS PUTRANYA :2655
20117/8 <144+?> 3. Sunan Prawoto / Panembahan Prawoto I (Sultan Mukmin) [Brawijaya V]
eured:
titl: 1546 - 1549, Demak Bintoro, Sultan Demak IV
marvidigezh: 1549, Demak Bintoro
Sunan Prawoto adalah raja keempat Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1546-1549. Nama aslinya ialah Raden Mukmin. Ia lebih cenderung sebagai seorang ahli agama dari pada ahli politik.

Raden Mukmin Semasa Muda Naskah babad dan serat menyebut Raden Mukmin adalah putra sulung Sultan Trenggana. Ia lahir saat ayahnya masih sangat muda dan belum menjadi raja.

Pada tahun 1521 Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia tanpa keturunan. Kedua adiknya beraing memperebutkan takhta, yaitu Raden Trenggana dan Raden Kikin. Raden Trenggana adalah adik kandung Pangeran Sabrang Lor, sama-sama lahir dari permaisuri Raden Patah, sedangkan Raden Kikin meskipun lebih tua usianya, tapi lahir dari selir, yaitu putri bupati Jipang.

Dalam persaingan ini tentu saja Raden Mukmin memihak ayahnya. Ia mengirim pembantunya yang bernama Ki Surayata untuk membunuh Raden Kikin sepulang Salat Jumat. Raden Kikin tewas di tepi sungai, sedangkan para pengawalnya sempat membunuh Ki Surayata.

Sejak saat itu Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya "bunga yang gugur di sungai". Pangeran Sekar Seda Lepen meninggalkan dua orang putra dari dua orang istri, yang bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram.

[sunting] Pemerintahan Sunan Prawoto Sultan Trenggana memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546. Sepeninggalnya, Raden Mukmin selaku putra tertua naik takhta. Ambisinya sangat besar untuk melanjutkan usaha ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun keterampilannya dalam berpolitik sangat rendah. Ia lebih suka hidup sebagai ulama suci dari pada sebagai raja.

Pusat pemerintahan Raden Mukmin dipindahkan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.

Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto. Pada tahun 1548 Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan Prawoto juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto.

Pada kenyataannya, cita-cita Sunan Prawoto tidak pernah terlaksana. Ia lebih sibuk sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah bawahan, misalnya Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik berkembang bebas sedangkan Demak tidak mampu menghalanginya.

[sunting] Kematian Sunan Prawoto Selain Sunan Prawoto muncul dua orang lagi menjadi tokoh kuat sepeninggal Sultan Trenggana, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang, dan Hadiwijaya bupati Pajang. Masing-masing adalah keponakan dan menantu Sultan Trenggana.

Arya Penangsang adalah putra Pangeran Sekar Seda ing Lepen yang mendapat dukungan dari gurunya, yaitu Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak. Pada tahun 1549 ia mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya.

Menurut Babad Tanah Jawi, pada suatu malam Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto. Sunan mengakui kesalahannya telah membunuh Pangeran Seda Lepen. Ia rela dihukum mati asalkan keluarganya diampuni.

Rangkud setuju. Ia lalu menikam dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus. Ternyata istri Sunan sedang berlindung di balik punggungnya. Akibatnya ia pun tewas pula. Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan sempat membunuh Rangkud dengan sisa-sisa tenaganya.

Sunan Prawoto tewas meninggalkan seorang putra yang masih kecil bernama Arya Pangiri, yang kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah dewasa, Arya Pangiri menjadi menantu Sultan Hadiwijaya raja Pajang, dan diangkat sebagai bupati Demak.

Pada tahun itu pula, 1549 Aryo Penangsang berhasil dibunuh oleh Danag Sutawijaya atas siasat cerdas Ki Juru Martani.

[sunting] Raden Mukmin dalam Kronik Cina Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong menyebut Raden Mukmin dengan nama Muk Ming. Pada tahun 1529 ia menggantikan Kin San sebagai kepala galangan kapal di Semarang. Kin San adalah adik Jin Bun (alias Raden Kusen adik Raden Patah).

Muk Ming bekerja keras dibantu masyarakat Cina baik yang muslim ataupun non muslim menyelesaikan 1.000 kapal besar yang masing-masing dapat memuat 400 orang prajurit. Pembangunan kapal-kapal perang tersebut untuk kepentingan angkatan laut ayahnya, yaitu Tung-ka-lo (Sultan Trenggana) yang berniat merebut Maluku.

Belum sempat Tung-ka-lo merebut Maluku, ia lebih dulu tewas saat menyerang Panarukan tahun 1546. Muk Ming pun naik takhta namun dimusuhi sepupunya yang menjadi bupati Ji-pang (alias Arya Penangsang).

Perang saudara terjadi. Kota Demak dihancurkan bupati Ji-pang. Muk Ming pindah ke Semarang tapi terus dikejar musuh. Akhirnya ia tewas di kota itu. Galangan kapal hancur terbakar pula. Yang tersisa hanya masjid dan kelenteng saja.
20618/8 <144> 9. Pangeran Timur / Pangeran Mas Kumambang (Rangga Jumena) [Raden Trenggono]
titl: Panembahan Mas -
micher: 18 Gouere 1568 - 1586, Bupati Madiun Ke 1, Hari jadi Kabupaten Madiun
== Pangeran Timoer ==


Kegigihan dan Kebijakan

Pangeran Timoer yang kemudian hari diangkat menjadi Bupati Purabaya pada tanggal 18 Juli 1568 dan mengakhiri pemerintahan Pengawasan Kasultanan Demak di Purabaya di bawah Kyai Rekso Gati (SaGaten), kemudian membuka dan mewarnai Sejarah Awal Kabupaten Madiun, sebagai Bupati yang Pertama (ke-1) Madiun dengan masa jabatan antara tahun 1568 sampai 1586.

Beberapa tahun setelah diangkat menjadi Bupati Purabaya, sekitar tahun 1575, Pangeran Timoer melaksanakan gagasan untuk memindahkan Pusat Pemerintahan dari bagian Utara ke Selatan, yang sekarang berada di Desa Kuncen.

Pemindahan Pusat Pemerintahan itu dilakukan dengan beberapa alasan, pertama Pangeran Timoer ingin mempunyai tempat kedudukan yang baru sebagai satu peringatan atas dimulainya kekuasaannya sebagai seorang Bupati Purabaya di samping kedudukannya sebagai Wedana Bupati di Mancanegoro Timur bagian dari Kasulatanan Demak. Kedua, pemindahan tempat itu juga dilandasi satu anggapan bahwa temapt yang lama sebelumnya bukan sebagai pusat pemerintahan. Tetapi hanya sebagai tempat “pengawasan”.

Alasan lain atas pemindahan itu adalah bahwa menurut pengamatan tempat yang baru ternyata mempunyai fasilitas penunjang yang lebih baik dibanding daerah atau tempat yang lama. Fasilitas penunjang yang dianggap akan lebih banyak menjamin, karena letak desa yang mengelilingi satu dengan yang lain berdekatan. Hal itu menjamin pula untuk memberikan satu kekuatan, dukungan serta perlindungan terhadap adanya ketahanan wilayah.

Tempat yang kemudian dipilih sebagai pusat pemerintahan merupakan satu daerah yang diapit muara sungai Gondang dan sungai Catur yang sangat besar artinya dalam satu kepentingan strategis serta kepentingan sosial ekonomi, karena kedua sungai itu merupakan jalan simpang lalu lintas besar kali Madiun.

Disamping itu, daerah baru ini merupakan daerah dataran kering yang dalam keadaan demikian berpengaruh sekali terhadap kegiatan seluruh masyarakat dan Pemerintahan secara keseluruhan.

Keadaan sosial ekonomi di daerah selatan ini dirasa juga lebih baik dan lebih penting dibanding dengan daerah utarra. Demikian juga mekanisme keseluruhan pola kegiatan pemerintahan meliputi wilayah Kabuparten Purabaya secara utuh.

Sementara itu perang antara Pajang dengan Mataram yang berakhir dengan runtuhnya Pajang sekitar tahun 1586 menyebabkan putusnya hubungan formalitas antara Kabupaten Purabaya dengan Pajang.

Tetapi bukan berarti Kabupaten Purabaya “tunduk” terhadap pemerintahan Mataram. Pangeran Timoer yang kemudian hari juga dikenal sebagai Panembahan Rama menyatakan Purabaya sebagai kabupaten yang berdiri “bebas” dan tidak ada ikatan hierarkis dengan Mataram yang sudah mengalahkan Pajang. Dan ....”Purabaya adalah ahli waris dari tahta kerajaan Pajang”.

Pendirian yang keras dari Panembahan Rama ini ternyata mendapat dukungan dari beberapa Bupati Mancanegoro Timur. Akibatnya sudah cukup diperhitungkan oleh Panembahan Rama dan timbullah kemudian bentrokan yang tidak dapat dihindari lagi antara Mataram dengan Purabaya.

Pihak Mataram kemudian berusaha untuk mendudukan Purabaya dan menfgirimkan pasukannya untuk menggempur Purabaya yang dilakukan pertama kali pada tahun 1586. Setahun berikutnya di tahun 1587 pasukan Mataram juga dikirimkan untuk menggempur Purabaya. Tetapi dua kali serangan pasukan Mataram ke Purabaya ini mengalami kegagalan dan dapat dipatahkan di bagian sebelah barat kali Madiun. Kekalahan itu menjadikan Mataram lebih cermat dan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan berikutnya.
23719/8 <144> 3.4.1.1.5. Ratu Mas Kalinyamat [Demak]
marvidigezh: 1579, Mantingan
18820/8 <156> Putri [Majapahit Girindrawardhana] 18921/8 <156> Putri [Majapahit Girindrawardhana] 19022/8 <162> Pangeran Arya Penangsang (Prince) [Demak]
Arya Penangsang atau Arya Jipang, adalah Bupati Jipang Panolan yang memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549, namun dirinya sendiri kemudian tewas ditumpas para pengikut Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Arya Penangsang juga terkenal sakti mandraguna.

Silsilah Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Raden Kikin atau sering disebut sebagai Pangeran Sekar, putra Raden Patah raja pertama Kesultanan Demak. Ibu Raden Kikin adalah putri bupati Jipang sehingga ia bisa mewarisi kedudukan kakeknya. Selain itu Arya Penangsang juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Mataram.

Pada tahun 1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor karena melakukan penyerangan ke Malaka yang dikuasai Portugis) gugur dalam perang. Kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana, malah berebut takhta. Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto (putra pertama Raden Trenggana) membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").

Sepeninggal ayahnya, Arya Penangsang menggantikan sebagai [[bupati Jipang Panolan]]. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang Panolan sendiri terletak di sekitar daerah Blora, Jawa Tengah.

Aksi pembunuhan Raden Trenggana naik takhta Demak sejak tahun 1521 bergelar Sultan Trenggana. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai sultan keempat bergelar Sunan Prawoto.

Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu.

Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.

Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh.

Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan membunuh saingan beratnya, yaitu Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Pajang. Meskipun keempatnya dibekali keris pusaka Kyai Setan Kober, namun, mereka tetap dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat.

[[Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober]]. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. Hadiwijaya kemudian pamit pulang, sedangkan Sunan Kudus menyuruh Penangsang berpuasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra yang sebenarnya akan digunakan untuk menjebak Hadiwijaya tetapi malah mengenai Arya Penangsang sendiri pada waktu bertengkar dengan Hadiwijaya karena emosi Aryo Penangsang sendiri yang labil.

Sayembara Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera menumpas Arya Penangsang. Ia,, yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.

Hadiwijaya segan memerangi Penangsang secara langsung karena merasa sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan sesama anggota keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh bupati Jipang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.

Kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara. Hadiwijaya memberikan pasukan Pajang dan memberikan Tombak Kyai Plered untuk membantu karena anak angkatnya, yaitu Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan ikut serta.

Kematian Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.

Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.

Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.

Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.

Dampak [[budayaKisah kematian Arya Penangsang melahirkan tradisi baru dalam seni pakaian Jawa]], khususnya busana pengantin pria. Pangkal keris yang dipakai pengantin pria seringkali dihiasi untaian bunga mawar dan melati. Ini merupakan lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri sebagaimana watak Arya Penangsang.
19223/8 <141+49> Adipati Wirohutomo I / Raden Jaka Katuhu [Srie Pamekas - Nata / Raja Pajajaran]
NB:
  • Babad Wirasaba meceriterakan asal usul R.Jaka Katuhu dan R.Paguwon (Adipati Wirahudaya) yang saat ini menjadi Adipati I di Kadipaten Wirasaba I (abad ke 15). R Jaka Katuhu putera sulung R Harya Baribin Pandhita Putera, dan menjadi menantu Prabu Linggawastu karena dikawinkan dengan puteri tunggalnya, Dewi Retna Pamekas. R Jaka Katuhu meninggalkan Kraton Pakuan Parahyangan untuk berkelanan ke tanah Jawa dan akhirnya sampai di desa Buwara; Disana dijadikan anak angkat Ki Lurah Buwara yang tidak memiliki keturunan. R.JaKa Katuhu membantu perluasan ladang pertanian Ki Lurah Buwara, dengan membakar daun/ranting sehingga tjahaya membumbung memancar keudara terlihat dari kadipaten Wirasaba; [[Adipati Wirahudaya]] menyelidiki dan memanggil Ki Lurah Burawa & Jaka Katuhu, dan diketahuilah asal usul Jaka Katuhu; Sehingga Adipati Wirahudaya berkeinginan mengangkat putera R.Jaka Katuhu karena di tidak dikarunia keturunan hingga usia tuanya. Ketika tiba waktunya Pisowanan Ageng di Kratom Majapahit, Adipati Wirahudaya sedang menderita sakit. Maka diutuslah R Jaka Katuhu untuk mewakili menghadap Prabu Brawijaya V, menghaturkan upeti kepada Sri Baginda; Keberangkatannya ke Majapahit diantar oleh Patih Wirasaba, Raden Bawang, dan adik Sang Adipati. Pada saat menghadap Sang Prabu Brawijaya V, ditanyakan asal usul R Jaka Katuhu, karena ynag bertanya adalah raja maka ia terus terang bahwa ia adalah putera R Harya Baribin Pandhita Putera, menantu Sri Prabu Linggawastu Ratu Purana Jaya Dewata dari Kraton Pakuan Parahiyangan di tanah Pasundan. mendengar nama R Harya Baribin, Sang Prabu terkejut dan tida mengira bahwa Jaka Katuhu ternyata putera adik kandungnya sendiri. R Baribin melarikan diri pada masa Prabu Brawijaya V menjadi Raja Majapahit, ia difitnah oleh beberapa punggawa kraton yang akan merebut kekuasaaan, sehingga diperintahkan ditangkap; Fitnah itu dari kelompok Patih Majapahit saat itu. Fitnah tsb. yang akhirnya terbokngkar kedoknya; sehingga Sang Prabu Brawijaya V menyesal asal tindakannya terkena provoasi.
  • Raden Jaka Katuhu kasengkakaken ing ngaluhur (kembali diangkat derajatnya sebagai bangsawan Kraton) dan dibait'an menjadi Adipati Anom Wirasaba dengan gelar Adipati Anom Wirahutama. Selain dihadiahi seorang isteri bernama Putrisari salah satu puteri Mahapatih Majapahit; Dan dijinkan memperluas wilayah Kadipaten Wirasaba sampai ujung timur hingga lereng barat Gunung Sindoro Sumbing di wilayah Kedu.
  • Babad Banyumas menceriterkan sejarah wilayah Banyumas bagian timur yang terkait hubungan trah dengan kerajaan Pajajaran - Majapahit II abad ke 15 & 16 (1429-1522) melalui garis trah Adipati Wirohutomo I (Raden Jaka Katuhu) pada masa Kadipaten Wirasaba I (zaman Hindu, abad ke 15) maupun trah Adipati Wargahutama II ( R Jaka Kaiman, keturunan trah Pangeran Senapati Mangkubumi II, Pasirbatang).
19424/8 <165+59> 1.1.1.1. Nyai Ageng Selo II / Roro Kinasih / Nyai Bicak [Brawijaya] 19525/8 <156> Putri [Majapahit Girindrawardhana] 19626/8 <141> Raden Banyak Catra / Raden Kamandaka [Pajajaran]
19727/8 <150+52> Pangeran Aria Dewangsa / Bhre Tanjungpura II [Majapahit Rajasa] 19828/8 <147> Kanjeng Panembahan Ronggowarsito [Ronggowarsito]
19929/8 <144> 1. Pangeran Tumenggung Mangkurat Panembahan Mangkurat [Raden Trenggono]
20230/8 <144> 4. Ratu Mas Mantingan / Pemantingan [Raden Trenggono] 20431/8 <144> 6. Ratu Mas Hario [Raden Trenggono]
20532/8 <144> 7. Ratu Mas Kekambang / Ratu Mas Gegambang [Raden Trenggono] 20733/8 <144> 10. Raden Ayu Sekarkedaton [Raden Trenggono]
20834/8 <146> Raden Sakar Sungsang Maharaja Sari Kaburungan (Panji Agung Rama Natha) [Hikayat Banjar I]
20935/8 <150+52> Pangeran Suryawangsa [Hikayat Banjar II]
21036/8 <150+52> Pangeran Suryaganggawangsa [Hikayat Banjar II]
21137/8 <150+48> Raden Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya / Bhre Matahun III [Majapahit Rajasa] 21238/8 <150+48> Girindrawardhana Dyah Wijayakarana / Bhre Keling III [Majapahit Rajasa] 21339/8 <150+51> Singawardhana Dyah Wijayakusuma / Bhre Pamotan II [Majapahit Rajasa]
21640/8 <144> 3.4.1.1.8. Ratu Mas Cempaka [Demak]
21941/8 <145> Pangeran Made Pandan ( Pulau Terang ) [Pandan ( Pulau Terang )]
22042/8 <160> 2. Nyai Ageng Pakis [Brawijaya]
22143/8 <160> 3. Nyai Ageng Purna [Brawijaya]
22244/8 <160> 4. Nyai Ageng Kare [Brawijaya]
22345/8 <160> 5. Nyai Ageng Wanglu [Brawijaya]
22446/8 <160> 6. Nyai Ageng Bokong [Brawijaya]
22647/8 <167> Pangeran Alas [Brawijaya]
22748/8 <165+59> 1.1.1.2. Ki Ageng Ngerang II Kyai Bodo [Kyai Ageng Ngerang I]
22949/8 <144> 3.4.1.1.1. Pangeran Prawoto [Demak]
23050/8 <170+60> 4.1.1.3.1. Pangeran Agung / Panembahan Ratu I (Pangeran Emas) [Gunung Jati II] 23151/8 <144> 3.4.1.1.3. Ratu Ayu Kirana [Azmatkhan] 23352/8 <160> 7. Nyai Ageng Adibaya [Brawijaya]
23453/8 <144> 3.4.1.1.1. Panembahan Mangkurat (cloning) [Demak]
23554/8 <144> 3.4.1.1.2. Ratu Mas Pambayun, Menikah Dengan Kiyai Ageng Lang [Demak]
23655/8 <144> 3.4.1.1.4. Ratu Mas Mantingan [Demak] 23856/8 <144> 3.4.1.1.6. Ratu Mas Hario di Surabaya [Demak]
23957/8 <144> 3.4.1.1.7. Ratu Mas Katambang [Demak]
24058/8 <144> 3.4.1.1.9. Panembahan Mas di Madiun [Demak]
24159/8 <144> 3.4.1.1.10. Ratu Sekarkedaton [Demak]
24260/8 <159+?> Pangeran Kusumahdinata / Pangeran Santri [Brawijaya V]
24361/8 <170+60> Pangeran Sedang Kemuning / Pangeran Suwarga (Pangeran Pakungja) [Gunung Jati II] 24462/8 <170+60> Ratu Petak (Syarifah Halimah) [Petak] 24563/8 <172> Jambaleka I (Sumenep) [Brawijaya V]
24764/8 <173+62> Baru Klinting ? (Ki Bagus Baruklinting) [Brawijaya V]
24865/8 <173+61> Ki Ageng Mangir II ? (Wonoboyo) [Brawijaya V] 24966/8 <174> Pangeran Karboso Reksojiwo ? (Bupati Gedongkiwo) [Brawijaya V]
25067/8 <175+63> Ario Timbul [Brawijaya V]
25168/8 <175+63> Ario Kudut [Brawijaya V]
25269/8 <175+63> Ario Podjok [Brawijaya V]
25370/8 <175+63> Nyi Sumekar [Brawijaya V]
25671/8 <170+60> Ratu Emas [Gunung Jati] 25772/8 <170+60> Pangeran Weruju [Gunung Jati]
25873/8 <177> Ψ 2nd Decendant of Sultan Demak [Demak]
25974/8 <178> Panembahan Djagaraga [Patah]
26075/8 <184> Pangeran Wetan [Kesultanan Demak]
26176/8 <185+?> La Tanra Balusu Datu Luwu Pajung Luwu [Datu Luwu Pajung Luwu]
Gelar : Tarpa Balusu Datu Luwu Pajung Luwu

Tanra Balusu menggantikan ayahnya menjadi Raja Luwu (Datu ke 5). ia menikah dengan seorang putri dari keluarganya sendiri, Selama masa pemerintahannya kerajaan tetap stabil dengan memperkuat kerjasama antara kerajaan Majapahit. Pusat-pusat ekonomi yang telah dirancang ayahnya

diselesaikan oleh Tanra Balusu seperti pelabuhan Pao dan Teluk Mengkongga. Pedagang yang datang ke Luwu tidak hanya dari Jawa, melainkan juga dari melayu bahkan tidak mustahil pula ada dari Cina Selatan dan Persia.
Views
Ostilhoù personel
Enklask araokaet